BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menegaskan, masyarakat sebaiknya belajar dari kasus Prita Mulyasari. Apabila masyarakat tidak puas dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit, sebaiknya mengadu melalui jalur yang benar dan tidak asal menulis tanpa menyertakan bukti-bukti.
Siti Fadilah Supari, Kamis (4/6) di Lampung Selatan, mengatakan, ketika masyarakat berobat dan mendapat pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan, masyarakat diperbolehkan mengadu kepada kepala dinas kesehatan setempat. Jika tetap tidak puas dengan penyelesaian masalah layanan kesehatan, masyarakat bisa mengadu ke Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia (MKKI).
”Saya sangat menyarankan masyarakat untuk menempuh jalur yang benar itu daripada menulis ke mana-mana tanpa bukti. Dampaknya seperti yang kita lihat pada kasus Prita ini,” ujar Siti Fadilah.
Menurut Siti Fadilah, ada kode etik yang mesti dipahami bersama. Ketika berobat, masyarakat berhak mendapat jawaban dari dokter mengenai obat yang diberikan dan efeknya kepada pasien. Demikian juga pasien berhak mengetahui diagnosis yang dilakukan dokter dan perlakuan seperti apa yang akan dilakukan dokter kepada pasien.
Namun, Menkes mengakui, apabila dokter tidak mau memberi tahu kepada pasien, Departemen Kesehatan sekali pun tak bisa memberi sanksi kepada dokter bersangkutan. ”Undang-undang tidak mengatur sanksi yang harus diberikan kepada dokter yang tidak mau memberi tahu obat atau efek obat atau diagnosis atas pasien,” ujar Siti Fadilah.
Kasus lain
Kasus lain juga terjadi. Akhir tahun lalu PT Sarana Meditama Metropolitan (yang mengelola RS Omni Internasional) juga melayangkan gugatan terhadap salah satu pasiennya karena alasan pembayaran tagihan. Pihak keluarga pasien belum membayar tagihan biaya perawatan karena menilai nilai tagihan tak wajar.
Pada Kamis kemarin, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang gugatan itu. Sedianya, sidang diisi dengan pembacaan putusan. Namun, Ketua Majelis Hakim Reno Listowo menunda pembacaan putusan karena terdapat pergantian hakim.
Kasus itu bermula ketika Abdullah Anggawie (almarhum) masuk ke RS Omni Medical Center (OMC), Pulo Mas, Jakarta Timur, pada 3 Mei 2007. Abdullah dirawat selama lebih kurang tiga bulan sampai akhirnya meninggal pada 5 Agustus 2007.
Saat meninggal, pihak RS mencatat masih ada tagihan sebesar Rp 427,268 juta. Total biaya perawatan selama tiga bulan mencapai Rp 552,268 juta. Pihak keluarga telah membayar uang muka Rp 125 juta sehingga tagihan tersisa Rp 427,268 juta.
Pada 24 November 2008, PT Sarana Meditama Metropolitan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan dilayangkan kepada Tiem F Anggawi, PT Sinar Supra Internasional, yang berperan sebagai penjamin berdasarkan surat jaminan 28 Juni 2007, dan Joesoef Faisal yang bertindak sebagai penanggung jawab perawatan pasien Abdullah di RS.
Kuasa hukum pasien, Sri Puji Astuti, mengatakan, pihaknya sebenarnya bukan tidak bersedia membayar tagihan. Namun, pihaknya meminta RS mengeluarkan resume biaya dan rekam medis milik pasien terlebih dahulu. Namun, hingga kini rekam medis tersebut tidak diberikan.
”Sampai sekarang keluarga tidak tahu sakitnya apa. Selama tiga bulan perawatan itu pun tidak diberi tahu,” ujar Sri Puji Astuti. (hln/ana/jon/bay)
Sumber: KOMPAS
My Blog List
Followers
KOMPAS.com
detiknews - detiknews
ANTARA - Berita Terkini
Menkes: Lapor ke Jalur yang Benar
05 June 2009
Label: Kesehatan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.