Jaminan Kesehatan untuk Kaum Miskin

04 September 2009

Oleh: Ahmad Nurhasim
Jurnalis dan Mahasiswa Pascasarjana ITB, Bandung.

Kemiskinan dan kesehatan memiliki mata rantai yang tidak terputus. Kemiskinan mempengaruhi tingkat kesehatan individu dan masyarakat. Kemiskinan menyebabkan akses terhadap makanan berkualitas terhambat, hidup dilingkungan buruk, akses pengetahuan hidup sehat rendah, gaya hidup buruk, dan saat si miskin sakit tidak mampu berobat. ”Kolaborasi” kemiskinan dan kesakitan menjadikan hidup tinggal menunggu kiamat.

Masyarakat yang sehat memperendah angka kemiskinan, karena orang yang sehat umumnya produktif, biaya berobat rendah (lalu bisa menabung), bisa mengakses informasi dan pengetahuan medis, gaya hidup positif, dan tingkat kematian rendah. Kesehatan adalah investasi, sakit adalah cost.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa kematian bayi keluarga miskin tiga kali lebih tinggi dari keluarga tidak miskin. Dalam konteks negara, pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesehatan lebih baik (Infant Mortality Rate/ IMR antara 50-100 per 1.000 kelahiran hidup) adalah 37 kali lebih tinggi dibanding dengan negara dengan tingkat kesehatan lebih buruk (IMR lebih dari 150 per 1.000 kelahiran hidup). Makin rendah tingkat kematian bayi (IMR) makin sehat sebuah masyarakat, kini Singapura dan Jepang, masing-masing memiliki IMR 2,3 dan 2,8 per 1.000 kelahiran hidup.

Di kalangan masyarakat sangat miskin, miskin, dan tidak mampu, salah satu jalan untuk memutus mata rantai kemiskinan dan kesehatan adalah intervensi pemerintah pada salah satunya, kemiskinan atau kesehatan. Bisa juga intervensi keduanya, tapi membutuhkan kerjasama lintas departemen.

Oleh karena itu, kebijakan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjamin pelayanan kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin, dan tidak mampu di puskesmas, rumah sakit, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya layak diapresiasi. Sebab, selama puluhan tahun ketidakmampuan membayar pelayanan kesehatan adalah kendala utama untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkualitas. Sistem pembayaran uang tunai untuk pelayanan kesehatan lebih banyak dinikmati kelas menengah dan atas.

Program yang dikeluarkan sejak 2004 dengan nama Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) dan sejak 2008 diganti nama menjadi Jaminan Keshatan Masyarakat Masyarakat (Jamkesmas) adalah bentuk keadilan dan pemerataan akses untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat bawah. Berbekal kartu Jamkesmas, warga yang sakit bisa memperoleh pelayanan kesehatan gratis dari puskesmas hingga rumah sakit kelas tiga. Program yang menyasar 76,4 juta jiwa miskin harus tepat sasaran, sehingga tidak terulang lagi warga miskin tidak terdata. Selain dari pusat, anggaran juga dikucurkan dari pemerintah daerah. Komitmen terhadap pembangunan bangsa harus dimulai dari menciptakan warga negara yang sehat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) terus menurun dan Umur Harapan Hidup (UHH) terus meningkat. Tahun 2004 AKB mencapai 35 per 1.000 kelahiran hidup, AKI 307 per 100.000 kelahiran hidup, dan UHH dari 66,2 tahun. Tahun 2007, AKB 26,9 per 1.000 kelahiran hidup, AKI 248 per 100.000 kelahiran hidup, dan UHH 70,5 tahun. Angka-angka itu menunjukkan bahwa ada kemajuan yang dari realisasi kebijakan kesehatan.

Kalangan kaya bisa leluasa berobat di rumah sakit elite di Singapuara, China, Jepang, atau Amerika Serikat. Padahal, sakit bukan hanya dimonopoli orang-orang kelas menengah dan kaya, tapi semua orang berpeluang sakit. Bahkan dikalangan rakyat miskin, kecenderungan untuk sakit lebih besar. Pendidikan, pengetahuan, dan penghasilan berpengaruh besar terhadap derajat kesehatan.

Tiga tahun lalu saya menyaksikan ratusan pasien dari kalangan miskin memenuhi bangsal-bangsal kelas tiga Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tangerang. Di rumah sakit rujukan itu tempat tidur utnuk pasien sampai habis. Pada saat bersamaan, para pasien terus berdatangan dari berbagai pelosok Tangerang dan sekitarnya.

Para pasien dan keluarganya merasa ”dewa penolong” berupa pengobatan gratis itu telah datang lewat kebijakan Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) yang dikeluarkan Departemen Kesehatan. Sudah bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, mereka menderita sakit akut seperti diabetes, paru-paru, hipertensi, dan lainnya, tapi tidak ada biaya untuk berobat.

Kita berharap perubahan sistem pembayaran klaim Jamkesmas ke pemberi pelayanan kesehatan (PPK) – puskesmas, rumah sakit, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya – secara langsung akan menjamin bahwa uang pelayanan kesehatan untuk orang-orang sakit akan sampai ke mereka yang berhak dan tidak terjadi korupsi. Transparansi dan bertanggung jawab harus dijunjung tinggi. Pengawasan harus selalu ditingkatkan sampai tingkat bawah. Sebab anggaran negara selalu menjadi ladang yang subur untuk dikorupsi.

Intervensi pemerintah dibutuhkan karena pelayan kesehatan berbeda dengan layanan publik lainnya. Setidaknya ada tiga keunikan layanan kesehatan harus diintervensi pemerintah. Keunikan pertama adalah ketidakpastian. Penyakit datang tanpa diundang dan tidak tahu waktu pasti kedatangannya. Resikonya, pembiayaan kesehatan datang mendadak dan tidak jarang dalam jumlah besar. Bahkan orang-orang kaya pun bisa jatuh miskin jika sudah tertimpa sakit karena aset-aset yang dimiliki digadaikan atau dijual untuk membiayai pelayanan kesehatan. Meskipun banyak dokter yang peduli dengan pembiayan kesehatan, sifat ketidakpastian ini membuka peluang dimanfaatkan dokter dan rumah sakit untuk mengambil keuntungan finansial.

Keunikan kedua adalah pelayanan kesehatan tidak bisa ditunda. Artinya, saat seseorang sakit, saat itu juga semestinya segera memperoleh pelayanan kesehatan. Semakin ditunda bisa berakibat buruk dan fatal. Untuk menyelamatkan nyawa seringkali apapun di korban. Pilihannya seringkali pelayanan kesehatan yang menggunakan alat-alat kedokteran mutakhir dan obat yang berbiaya mahal.

Keunikan ketiga adalah disparitas informasi dan pengetahuan yang lebar antara pasien dan dokter. Pasien sebagian besar tidak paham dunia medis, sehingga segenap upaya penyembuhan (jenis tindakan medis dan jenis obat) diserahkan sepenuhnya kepada dokter. Dokter memiliki kekuasaan penuh menentukan tindakan-tindakan medis terhadap pasien. Keadaan ini memberikan pelayanan berlebihan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Sudah pasti bahwa pelayanan yang melebihi semestinya itu harus dibayar oleh pasien.

Intervensi Menteri Kesehatan dibutuhkan untuk menjamin bahwa orang-orang miskin juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan tanpa dibebani oleh biaya. Intervensi ini tidak sekedar meringankan biaya, tapi juga menciptakan pelayanan kesehatan yang adil, rasional, efisien, dan efektif. Pemerintah Kabupaten dan Kota harus memastikan bahwa warga sangat miskin, miskin dan tidak mampu harus didata untuk memperoleh layanan kesehatan gratis.

Pelayanan kesehatan tidak bisa hanya diserahkan kepada dokter dan rumah sakit. Bukankah hak memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap warga negara yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945?

Sumber: KPPOD

Pernah dimuat di Harian INDOPOS - Rabu, 15 April 2009 - Hal. Opini.

5 komentar:

Unknown said...

Sudah seharusnya memang kaum miskin harus diperhatikan lebih serius, karena selama ini rakyat miskin menjadi tumbal yang suka untuk memperkaya diri

Mudah-mudahan program ini dapat terlaksana dengan maksimal tidak sekedar wacana atau ARIS_Asal Rakyat Iku Senang

Ibu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjamin pelayanan kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin, dan tidak mampu.
Apa perbedaana sangat miskin, miskin dan tidak mampu? bagi saya sama saja karena sama-sama tidak mampu untuk berobat.

Jangan lagi-lagi kata MISKIN dijual untuk program pemerintah sepertihalnya RASKIN.
Kenapa tidak menggunakan kata-kata Rakyat atau Masyarakat Bawah, dimana program tersebut benar-benar dari rakyat dan untuk rakyat.
Kata miskin justru lebih mendiskritkan dengan orang-orang kaya.

Jangan lagi-lagi kata MISKIN dijual untuk program pemerintah sepertihalnya RASKIN.
Kenapa tidak menggunakan kata-kata Rakyat atau Masyarakat Bawah, dimana program tersebut benar-benar dari rakyat dan untuk rakyat.
Kata miskin justru lebih mendiskritkan dengan orang-orang kaya.

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.

 
 
 
 
Copyright © MF Nurhuda Y