JPPR Memantau di Wilayah Kepulauan

15 March 2007

Laporan Bachtiar Dwi Kurniawan
Diedit ulang oleh MF Nurhuda Y

Tanggal 8 Januari 2006 Jamora Suga diundang Hj. Nurmalina Khairil S, Koordinator JPPR Kota Batam dari Fatayat NU, untuk mengikuti training JPPR tingkat kabupaten di Gedung NU Batam Centre. Jamora Suga adalah Koordinator JPPR Kecamatan Galang yang berasal dari LABDA Shalahuddin Yogyakarta. Untuk tiba di Kota Batam, Jamora memerlukan waktu empat jam. Biaya transportasinya pun tidak sedikit, Jamora harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 300 ribu pergi pulang dengan menggunakan perahu dan bus, biaya sebesar ini jauh dari jumlah yang diberikan JPPR kepadanya. Tetapi menurutnya ini adalah tugas yang harus dilaksanakan sehingga dia tidak lagi memikirkan dana.

Acara training dimulai dengan perkenalan dan orientasi pertemuan. Materi yang disampaikan adalah hal-hal yang menyangkut tentang pilkada, pemantauan dan ke-JPPR-an. Acara yang difasilitatori oleh Miftahuddin Bisri dari Seknas JPPR ini berlangsung dengan cepat dan sederhana. Acara diakhiri dengan brainstorming menyangkut kendala proses pemantauan yang akan dilakukan oleh JPPR di lapangan.

Dengan berbekal penjelasan dari fasilitator, dengan sekuat tenaga dan pikiran, Jamora berusaha memahami dengan maksimal apa yang sudah disampaikan. Ia juga diberi materi tentang bagaimana membuat laporan naratif, melakukan pemantauan dan menyikapi keadaan yang mungkin terjadi di lapangan. "Training ini secara langsung menambah pengalaman dan wawasan saya pribadi untuk melakukan pemantauan. Saya sadar mensukseskan pilkada memerlukan kerja keras. Maka setelah itu saya mempelajari dengan sungguh-sungguh. Banyak ilmu dan pengalaman yang dapat diambil dari training tersebut", tutur Jamora Suga.

Dalam benak Jamora, kerja keras perlu dilakukan lantaran daerah pemantauannya di Kecamatan Galang terdiri dari 6 kelurahan yang letak geografisnya masing-masing kelurahan dipisahkan oleh laut. Tentu kendala geografis ini akan menyita waktu, tenaga, pikiran, dan juga kendala dana. Menurut Jamora, pemantauan di Galang memerlukan pengorganisasian yang cermat. "Saya harus berpikir bagaimana agar dapat mengunjungi satu pulau ke pulau lain untuk mengorganisir kordes dan relawan, itu pasti akan memakan biaya yang sangat tinggi", pikirnya.

Jamora sudah membuat rencana, bahwa untuk mengundang calon kordes para pertemuan pertama dirinya tidak perlu mengunjungi satu per satu. Jamora sudah banyak kenal warga di sana yang akan diundang untuk menjadi kordes. Jamora sendiri selain bermukim di Kecamatan Galang, juga dikenal sebagai da'i (mubaligh) yang ditugaskan oleh LABDA Shalahuddin untuk berdakwah di Kecamatan Galang, sehingga cukup memiliki pengaruh di kecamatan tersebut.

Setelah pulang dari training kabupaten di Batam, Jamora melakukan komunikasi dengan menggunakan pesawat orari atau radio amatir dan telepon selular untuk menghadirkan para calon kordes. Jamora juga membuat surat undangan resmi untuk meyakinkan mereka agar datang pada pertemuan kecamatan.

Terjadilah pertemuan kecamatan para tanggal 17 Januari 2006 di Kelurahan Karas, di rumah salah satu kordes yang bernama Ja’far, dan dihadiri oleh enam orang dari enam kelurahan. Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya, Jamora meminta kesediaan mereka menjadi koordinator JPPR di masing-masing kelurahan. Pertanyaan dilontarkan terutama menyangkut tugas-tugas mereka. Jamora menjelaskan bahwa tugas kordes adalah merekrut relawan dan memantau tahapan pilkada di tingkat desa. Setelah mendapat penjelasan, mereka pun setuju menjadi kordes. Acara dilanjutkan dengan briefing yang materinya seperti dalam training kabupaten.

Kendala yang muncul adalah ada kelurahan yang jumlah TPS-nya banyak, mencapai 35 TPS. Padahal kolom B PPS (salah satu formulir pemantauan JPPR) terbatas hanya sampai 25 TPS, maka solusinya hanya diambil beberapa TPS yang terjangkau. Pertemuan pun diakhiri dengan membuat jadwal pemantauan, kapan mulai merekrut dan membriefing relawan di masing-masing desa, dan kapan mulai memantau.

Untuk memantau pelaksanaan kampanye, Jamora berkoordinasi dengan aparat desa, petugas PPS, dan PPK. Dengan harapan agar mereka tahu ada pemantau independen dari JPPR.

Situasi kampanye pilkada di Kecamatan Galang berjalan lancar, tetapi ada pelanggaran dalam bentuk pemberian-pemberian sumbangan secara diam-diam. Ada serangan fajar yang dilakukan oleh para kandidat walikota dan wakil walikota tetapi sulit dibuktikan sehingga Jamora hanya mencatat peristiwanya tanpa disertai dengan bukti-bukti. Menurutnya serangan fajar itu dapat mempengaruhi pemilih. Jamora menuturkan: "bantuan langsung oleh para kandidat dalam bentuk nyata dan konkrit lebih dihargai oleh masyarakat dari pada janji atau program yang dikampanyekan, walaupun jumlah bantuan tersebut sangat kecil", katanya.

Siapapun yang mendapat jadwal kampaye terakhir maka dia akan lebih beruntung melakukan serangan fajar dan lebih berpeluang menang, demikian salah satu kesimpulan hasil pemantauan Jamora. "Serangan fajar inilah yang merubah pilihan rakyat", kata Jamora. Pelanggaran lain yang ditemukan Jamora adalah penggunaan bangunan dan tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikan untuk kampanye. Mereka menjadikan masjid sebagai pusat informasi dan kampanye seperti bentuk pengajian dan lain-lain.

Di sekolah para kandidat juga melakukan kampanye dengan mengarahkan siswa untuk memilih kandidat tertentu. Ada sekitar tiga pasangan calon yang melakukan hal yang serupa dengan menempel poster atau berkunjung ke sekolah-sekolah. Jamora tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melaporkan kepada panwas setempat. "Saya hanya mencatat dan melaporkannya ke panwas terhadap kasus ini. Mereka yang seharusnya menindaklanjuti", tutur Jamora.

Ada juga pelanggaran kecil yang dilakukan oleh KPPS. KPPS berani melakukan sosialisasi salah satu kandidat secara langsung. Dengan alasan untuk kepentingan kampong (kepentingan bersama) karena dengan harapan dipermudah dalam segala hal kalau pasangan yang bersangkutan nantinya menang. Menurut Jamora, "ini tidak sportif dan tidak bisa dibiarkan", gerutunya. Dia pun melaporkan ke panwas setempat.

Tiba saatnya pemantauan hari H pemungutan suara Sabtu, 21 Januari 2006. Para kordes JPPR cukup antusias dalam memantau, sehingga menjadikan pesta demokrasi betul-betul semarak. Banyak sponsor dan donatur yang memberikan makanan dan minuman di TPS-TPS, tenda permanen yang bagus, dll. "Suasananya cukup menarik antara lain seperti kondisi para saksi yang cukup tegang melihat dan menanti hasil penghitungan suara", kata Jamora menggambarkan situasi di TPS.

Seperti sudah diduga, hambatan yang dialami JPPR dalam melakukan pemantauan di Kecamatan Galang adalah masalah geografis, sehingga sulit melakukan koordinasi dengan kordes-kordes. Ada yang memantau menggunakan perahu atau sampan seperti yang dialami oleh Saprol, salah satu kordes di Galang, yang memantau di salah satu pulau, di mana TPS-nya dipisahkan oleh pulau lain yang harus dikunjungi satu persatu. Pemantauan di lapangan baru selesai dilakukan setelah waktu shalat maghrib, sekitar pukul 18.30 WIB.

Walaupun pemungutan suara berjalan satu hari, tetapi hari ketiga para kordes baru bisa berkumpul bersama Jamora untuk menyusun laporan di daerah Sembulang, salah satu kelurahan di Kecamatan Galang. Pemantauan di Kelurahan Sembulang mendapat sambutan yang cukup menggembirakan dari masyarakat terutama dari H Dasrul, Camat Galang. Sang Camat mengucapkan terimakasih terhadap perjuangan relawan JPPR yang ikut aktif dalam pilkada dan membantu di tingkat TPS. "Terdapat tiga lembaga pemantau yang ada di Kecamatan Galang bersama JPPR", kata Jamora tanpa menyebutkan kedua lembaga pemantau selain JPPR.

Akhirnya pada tanggal 26 Januari Jamora baru bisa memulai menyusun tabulasi setelah laporan dari para kordes terkumpul. Pada tanggal 27 Januari JPPR dilibatkan dalam sidang paripurna PPK untuk melakukan penghitungan suara di kecamatan. Hasilnya semuanya berjalan dengan lancar.

Dana Terbatas Pinjam Super Jet

Secara teknis pemantauan di Kecamatan Galang sangat menyedihkan karena dananya sangat terbatas. "Saya sebagai korcam JPPR tidak mau dan tidak berusaha mencoba memikirkan honor yang disediakan oleh JPPR. Saya sadar anggaran dari JPPR sangat terbatas, tetapi masalahnya dana yang ada tidak cukup untuk melakukan perjalanan pemantauan apalagi honor", kata Jamora.

Tidak dapat dibayangkan jika Jamora mengunjungi kordes satu dengan yang lainnya di mana desanya terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut. Untuk datang ke desa atau sebaliknya dari desa ke kecamatan membutuhkan dana sekitar Rp 500 ribu pergi pulang. Biaya transportasi saja sekitar Rp 400 ribu, belum lagi biaya makan dll. Kalau dihitung secara matematis, Jamora dan teman-teman kordesnya tidak sanggup meneruskan tugasnya di JPPR.

"Kami sebagai korcam, kordes dan relawan JPPR akan mengundurkan diri karena dananya tidak mencukupi", kata Jamora. "Saya pribadi selalu berkonsultasi mengenai permasalahan ini dengan Bachtiar, PO JPPR LABDA di Yogyakarta. Mereka sangat memahami permasalahan kami sehingga mereka membantu dengan memberikan tambahan dana", lanjut Jamora. Tetapi di lapangan tambahan itu tidaklah cukup. "Kami sadar lembaga kami tidak bisa memberikan semua kebutuhan dana yang kami perlukan di lapangan", tutur Jamora.

Untuk mencukupi kebutuhan operasional Jamora dan para kordes, dirinya mengaku sangat pusing sehingga memaksanya mencari solusi pendanaan lain. Jamora pun mencoba melakukan lobi kepada salah seorang pengusaha yang sudah dikenalnya untuk mau membantu kesulitan yang dialami. Ternyata hasilnya positif. "Pengusaha tersebut mau berbaik hati untuk membantu kami dalam hal pendanaan yang digunakan untuk melakukan pemantauan", kenang Jamora.

Di samping memberi bantuan dana pengusaha tersebut juga meminjamkan perahu/kapal super jet yang dimiliki untuk dipergunakan oleh JPPR. Pengusaha tersebut berkantor di Kompleks Perumahan Duta Mas Batam. Dengan adanya tambahan dana dari LABDA dan bantuan dari pengusaha tersebut pemantauan pilkada di Kecamatan Galang dapat dilakukan.

Masalah tidak berhenti sampai di situ, Jamora bisa berkeliling dari satu desa ke desa lainnya dengan pinjaman super jet, tetapi tidak dengan bahan bakar. Sementara super jet memakan bahan bakar yang cukup banyak, sementara dana dari LABDA dan pengusaha tersebut tidaklah cukup karena kunjungan ke desa atau sebaliknya tidaklah cukup hanya sekali. Jika tidak dikunjungi, sulit sekali berkoordinasi dengan para kordes karena signal telepon selular tidak sebagus di Kota Batam. "Di Galang sering hilang sinyalnya, apalagi di desa-desa", kata Jamora.

Solusinya super jet ditinggalkan dan beralih dengan cara menumpang kepada warga yang mau menyeberang dengan sampan. Ada juga cara lain, yaitu menggunakan bantuan temannya yang bertugas sebagai guru dan ustadz, yang setiap saat memberi ceramah ke desa-desa. Mereka dititipin pesan untuk disampaikan kepada kordes dan relawan.

Demikianlah akhirnya pilkada di Kecamatan Galang dapat terpantau. Jamora merasa bahagia karena bisa berpartisipasi sebagai pemantau independen. Dia juga merasakan pengalaman yang luar biasa dari kerja pemantauan. "Saya mendapatkan manfaat yang banyak dari sini, mulai dari pengetahuan, berkembangnya pertemanan, keberanian untuk melakukan pekerjaan sesulit apapun hingga memecahkan masalah-masalah di lapangan", kenang Jamora.

Di tingkat pelaksanaan pilkada juga terasa berbeda dengan pemilu presiden. Jamora merasakan ada nuansa kehati-hatian dari para petugas karena ada pemantau. "Dulu waktu pilpres tidak ada pemantau seperti JPPR. Ketika ada JPPR seperti pada pilkada ini, petugas pemilu lebih hati-hati dalam menjalankan tuugasnya. Tidak asal beres seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Suasana agak cukup rapi dan teratur", tutur Jamora.[]

1 komentar:

Anonymous said...

Dengan begini sebenarnya JPPR riil berada di lapangan, meskipun kurang tampak di media.

Fatih, Tulungagung

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.

 
 
 
 
Copyright © MF Nurhuda Y