Yandri Sulo (31), salah satu guru Nunukan Kalimantan Timur tertarik bergabung dengan JPPR. Secara kebetulan salah satu teman gurunya, Jamaluddin ditunjuk oleh LKPMP Makasar untuk menjadi Koordinator JPPR Kabupaten Nunukan. Dengan bergabung di JPPR, Yandri, demikian biasa ia dipanggil, berharap dapat berpartisipasi dalam mendorong demokratisasi melalui pilkada langsung di Nunukan. "Kita kan hidup bermasyarakat. Kalau mau daerahnya maju, ya harus kita bantu", demikian pendapat bapak tiga anak ini.
Singkat cerita, Yandri pun mengutarakan keinginannya kepada Jamal, panggilan akrab Korkab Nunukan. Sang korkab menyambut baik keinginan Yandri untuk bergabung di JPPR, bahkan sang korkab menawarkan posisi koordinator kecamatan. Sang korkab sudah hafal betul kapasitas dan kemampuan Yandri, sehingga Jamal yakin Yandri mampu melaksanakan kerja-kerja JPPR. Ditawari posisi tesebut Yandri sangat senang. Singkatnya, Yandri pun secara resmi menjadi Koordinator Kecamatan Nunukan (kecamatan kota). Yandri pun mengikuti training kabupaten yang diselenggarakan oleh korkab.
Setelah training Yandri membuat daftar orang-orang yang akan direkrut menjadi koordinator desa dan relawan sesuai kriteria yang ditetapkan JPPR: bermukim di desa/kelurahan wilayah pemantauan; bersifat sukarela; mampu melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemantau; dan yang paling utama adalah non-partisan. "Saya membuat daftar orang-orang yang saya pandang kompeten untuk mengerjakan tugas pemantauan, baik dari segi latar belakang pendidikan maupun pengalaman kemasyarakatan", kata Yandri. "Pikir saya merekrut relawan itu sangat mudah, apalagi di Kecamatan Nunukan hanya ada empat kelurahan dan satu desa, yang berarti hanya dibutuhkan lima kordes dan masing-masing kelurahan ditambah tiga relawan, jumlahnya 20 orang", lanjut Yandri.
Yandri membuat daftar 4 orang yang diperkirakan bisa menjadi kordes dan relawan di Kelurahan Nunukan Timur. Keempat orang tersebut adalah teman-teman Yandri sendiri, karena Yandri asli warga Nunukan Timur. Yandri pun menghubungi salah satu di antara mereka. Yandri mengutarakan maksud dan tujuannya kemudian mengajaknya bergabung menjadi kordes atau relawan JPPR. Orang tersebut mengaku senang ditawari Yandri, tetapi menanyakan honor yang akan diterima. Yandri menjelaskan jika kordes akan mendapat sejumlah dana untuk keperluan komunikasi, transportasi dan konsumsi serta uang saku. Sedangkan relawan akan diambilkan sebagian dana kordes untuk keperluan konsumsi.
Ternyata hasilnya negatif. Orang tersebut mengaku ditawari menjadi saksi salah satu calon bupati yang jumlahnya dananya lebih besar, yaitu Rp 200 ribu untuk bekerja di TPS. Kemudian Yandri menghubungi teman lainnya. Sang teman ternyata juga menolaknya, karena sudah ditawari menjadi kordes dari salah satu calon bupati. "Mereka punya struktur yang hampir sama dengan JPPR. Ada korcam, kordes dan saksi di TPS", kata Yandri. "Bedanya di TPS. Kalau kita istilahnya relawan, sedang mereka saksi", lanjut Yandri. Honor yang diterima oleh kordesnya calon bupati lebih besar dari pada kordesnya JPPR.
Yandri tidak putus asa, keesokan harinya dirinya menghubungi teman lainnya yang sebelumnya juga masuk daftarnya. Sang teman ternyata juga menolaknya. Alasannya sama, sudah ditawari menjadi saksi salah satu kandidat bupati. Sudah orang ketiga yang dihubungi Yandri dalam waktu dua hari tetapi belum ada hasilnya. Bahkan orang keempat sebagai daftar terakhir ketika dihubungi Yandri, hasilnya negatif juga. Dia menolak karena sama sekali tidak tertarik.
Yandri pun membuat daftar baru orang-orang yang mungkin masih bisa direkrut. Sadar kalau di Nunukan sulit merekrut kordes dan relawan, maka Yandri memasukan 10 nama di daftar barunya untuk satu kelurahan. Satu per satu lalu ia hubungi, ternyata hasilnya nihil juga. Walhasil tak satu pun di antara 14 orang yang sudah dihubungi, bersedia menjadi kordes JPPR, apalagi relawan. Alasannya macam-macam. Alasan terbanyak karena lebih tertarik menjadi saksi dari para calon bupati, “honornya jauh lebih besar”, kata Yandri menirukan mereka.
Yandri hampir putus asa. "Saya sudah meyakinkan dengan berbagai cara untuk kepentingan Kabupaten Nunukan, tetapi hasilnya nihil", keluh Yandri. Orang-orang yang biasanya aktif di bidang kemasyarakatan memilih menjadi tim sukses atau kordes dan saksi para calon bupati. Sementara untuk merekrut orang-orang yang tidak terbiasa aktif di masyarakat, mereka tidak tertarik karena menganggap ini pekerjaan di JPPR yang tidak jelas pendapatannya.
Nunukan merupakan daerah perantauan dan perbatasan dengan negara tetangga, Malaysia. "Penduduk di sini kebanyakan pendatang yang mencari kehidupan, mereka tidak mau menjadi sukarelawan", tutur Yandri. "Saya merekrut satu kordes saja sulitnya minta ampun. Itu baru untuk satu kelurahan Di kelurahan lain saya juga mengalami kesulitan yang sama", keluh Yandri. Yandri mencoba cara lain, yaitu memasang pengumuman di beberapa tempat strategis untuk mencari kordes dan relawan. Dalam waktu satu bulan, tidak satupun dari masyarakat yang tertarik untuk menjadi relawan JPPR. "Mereka kurang peduli terhadap kegiatan pemantauan, karena rata-rata mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing", katanya Yandri.
Waktu pun semakin sempit karena pilkada akan digelar bulan April 2006. Sedangkan Yandri sudah berusaha merekrut pada bulan Februari dan Maret. Tak ada pilihan lain, pikir Yandri. Ia meminta saudara-saudaranya yang tinggal di sekitar rumahnya untuk menjadi koordinator desa. Yandri tidak terpikir lagi untuk merekrut relawan, cukup kordes saja. "Saya meminta tolong kepada saudara-saudara saya, dan mereka mau", kenang Yandri. Wilayah yang dipantau pun menyisakan satu desa, yaitu Desa Binusan. "Desa ini jaraknya kurang lebih 30 km dari rumah saya, dan tidak bisa dilewati dengan kendaraan roda dua. Kalau berjalan kaki bisa sampai dua hari karena lokasinya berbukit-bukit", kata Yandri.
Dengan pertolongan saudara-saudara Yandri, pemantauan akhirnya dapat dilaksanakan di empat kelurahan, dan semuanya dapat berjalan dengan lancar. Yandri merasa lega tetapi benaknya masih menyimpan rasa penasarannya: "tantangannya luar biasa", demikian kata Yandri sambil menghela napas.
Menurut Jamaluddin, Koordinator Kabupaten Nunukan, masalah rumitnya merekrut relawan tidak hanya terjadi di kecamatan kota, tetapi merata di tiga kecamatan yang dipantau JPPR. JPPR di Nunukan memantau tiga kecamatan, dua kecamatan lainnya adalah Kecamatan Sebatik dari Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah dan Kecamatan Sebuku dari LKK NU. "Mereka mengeluhkan hal yang sama, sulit mencari orang untuk menjadi relawan", kata Jamal.
Di samping faktor pilihan masyarakat menjadi saksi dan kekurangpedulian masyarakat kepada pemantau, tingkat pendidikan masyarakat juga menjadi salah satu faktor rumitnya merekrut relawan. "Ini kan daerah perbatasan yang biaya hidupnya lebih tinggi daerah lain, tetapi dari segi pendidikan sangat minim terutama di wilayah kecamatan. Jadi untuk mengajak mereka menjadi sukarelawan perlu waktu yang lama", tutur sang korkab. "Inilah tantangan bagi JPPR, bagaimana agar tugas pemberdayaan menjadi satu paket dengan tugas pemantauan", tambah Jamal.
“Berebut” Relawan
Kesulitan merekrut relawan juga dialami Percik, salah satu organisasi anggota JPPR yang akan memantau Pilkada Walikota Salatiga Jawa Tengah 7 Mei 2006. Untuk merekrut sejumlah relawan di tiga kecamatan pantauan, Percik telah menginformasikan, salahsatunya melalui acara “Diskusi Peran Politik Gereja, Pilkada Langsung, dan Tindak Lanjutnya” yang diadakan pada Maret 2006. Diskusi diikuti oleh para pendeta dan pengurus gereja-gereja yang tersebar di Kota Salatiga. Diskusi dimaksudkan menggugah peran serta gereja/jemaat dalam menghadapi Pilkada di Kota Salatiga.
Sebagai salah satu tindak lanjut diskusi ini, dikirimkanlah oleh beberapa gereja sejumlah nama anggota jemaatnya yang berminat menjadi pemantau JPPR dalam koordinasi Percik. Lima nama diantaranya diperoleh melalui Penatua Md dari Gereja SW. Penatua ialah sebutan bagi seseorang yang menjadi pemuka/pengurus pada sebuah gereja. (Nama Penatua & Gereja disamarkan). Berdasarkan data yang terkumpul, kelima calon relawan tersebut ternyata tinggal berdekatan dengan/tetangga Penatua Md di kampung Margosari.
Kemudian Percik membangun kontak via telepon untuk menyepakati waktu menemui & menjelaskan kerja JPPR kepada lima calon relawan tersebut. Pada suatu sore -yang telah disepakati- saat Percik mendatangi rumah salah seorang calon relawan di kampung Margosari, ternyata kelima calon relawan telah siap menanti. Seorang pria (SK) sedangkan empat lainnya wanita (KT, NS, OM, SS) yang berusia sekitar 20-30 tahun. Sungguh tidak diduga kedatangan Percik disambut demikian hangat dan menurut mereka bahkan sudah berhari-hari diharapkan segera dapat bertemu. “Ah mengapa ya?”, pikir Dwi Prasetyo, PO Percik yang terjun langsung ke lokasi.
Setelah obrolan singkat sekedar perkenalan satu dengan lainnya –ternyata kelimanya bukan jemaat Gereja SW. Percik menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan karena kelima orang tadi telah mendaftarkan diri melalui Penatua Md untuk menjadi relawan JPPR Percik. Namun suasana hangat mendadak berubah ketika Percik sampai pada penjelasan bahwa JPPR hanya menyiapkan kaos seragam pemantau, ID card dan lembaran pemantauan; tanpa dana/uang bagi para relawan. Kelima calon relawan tersebut terlihat agak terkejut kecewa dan terlihat saling memandang satu dengan lainnya.
Merespon kekecewaan yang terlihat di wajah mereka, Percik mencoba menanyakan apakah mereka telah mendapatkan informasi yang berbeda/lain tentang pemantauan dan tentang JPPR Percik dari Penatua Md?
Dengan agak ragu-ragu dan terkesan malu, beberapa di antara mereka mengutarakan bahwa mereka berpikir dengan ikut pemantauan JPPR Percik, mereka akan memperoleh imbalan uang seperti yang mereka dengar ditawarkan bila menjadi relawan panwas Pilkada ataupun ditawarkan oleh tim sukses para kandidat walikota. Bahkan mereka berharap dengan menjadi pemantau JPPR Percik, akan mendapatkan imbalan uang yang lebih besar. Secara jujur diakui oleh mereka bahwa kondisi ekonomi mereka (kesemuanya tidak bekerja, masih tinggal bersama orang tua) telah mendorong munculnya pikiran bahwa ikut JPPR Percik akan lebih menguntungkan daripada menjadi relawan pengawas ataupun anggota “tim sukses” kandidat.
Setelah itu salah seorang memohon waktu pada Percik untuk membicarakannya kembali di antara mereka berlima di luar rumah pertemuan. Tak lama kemudian mereka kembali masuk rumah dan menemui Percik yang sedang menunggu di kursi tamu yang sangat sederhana itu. Setelah saling menunjuk di antara mereka untuk menjadi juru bicara, salah seorang secara terbata-bata menyampaikan hasil pembicaraan di antara mereka yang pada intinya menarik diri dari pendaftaran menjadi relawan JPPR Percik. Demikian pula Percik menyampaikan permohonan maaf apabila kelima calon relawan telah memperoleh informasi yang salah, yang berakhir dengan kekecewaan. Meskipun demikian, Percik tetap meninggalkan pada mereka sejumlah bahan pendidikan pemilih berupa KOBAR/Koran Selembar Visi Misi 4 pasangan calon, dan juga booklet 12 pertanyaan penting sekitar Pilkada Langsung. Semoga bahan-bahan pendidikan pemilih itu dapat dibaca dan syukur-syukur dapat dibagikan kepada warga sekitarnya.
Menurut Dwi Prasetyo, PO Percik, di tengah-tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit, terutama di saat-saat BLT (Bantuan Langsung Tunai) dibagikan oleh pemerintah kepada warga miskin, dengan berebutan dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) disalurkan guna mengurangi beban biaya sekolah, juga saat dihadang money politics para kandidat kepala daerah; merekrut relawan –bahkan lewat lembaga keagamaan sekalipun- kiranya dapat menggambarkan dalam beberapa kasus, kalau boleh dikatakan, JPPR mengalami kekalahan dalam “rebutan (pertarungan) untuk mendapatkan relawan pemantau”. “Ini adalah tantangan bagi JPPR, bagaimana pemberdayaan masyarakat tidak hanya dilakukan menjelang pilkada atau pemilu saja tetapi secara terus-menerus”, kata PO Percik yang akrab dipanggil DP ini.
Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemilu dan pilkada secara sukarela tidaklah semudah melibatkan aktivis atau pekerja organisasi. “Kita ingin agar masyarakat langsung yang terlibat memantau pilkada, kalau kita rekrut aktivis atau pekerja organisasi sosial, bahkan mahasiswa, mungkin hal biasa. Tapi kita ingin ada wujud pemberdayaan masyarakat, kita libatkan mereka agar partisipasi tidak hanya dimengerti sebatas memilih tetapi juga memantau”, demikian pandangan DP.
Dari Makasar, Jufri (PO LKPMP) mengatakan bahwa kasus rumitnya merekrut relawan tidak merata di semua daerah. Pengalaman LKPMP hanya terjadi di daerah-daerah industri dan perbatasan dengan Malaysia seperti di Nunukan, Malinau, Bontang dan Balikpapan. “Di Sulawesi kami mudah merekrut relawan karena sebelumnya mereka sudah terlibat dalam berbagai aktivitas LKPMP seperti pelatihan-pelatihan dan workshop-workhsop yang kami selenggarakan, di luar program JPPR”, demikian Jufri mengisahkan.
Jufri menambahkan, pemberdayaan masyarakat memang membutuhkan waktu yang lama, tidak serta merta JPPR datang ke desa, berbicara sebentar dengan warga masyarakat lalu mereka langsung sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. “Kita memerlukan sebuah proses panjang, dan inilah tugas dari masing-masing organisasi anggota JPPR. Tugas ini tidak harus berhenti karena program”, kata Jufri.[]
Ditulis oleh MF Nurhuda Y dan dipersiapkan untuk Buku JPPR
Singkat cerita, Yandri pun mengutarakan keinginannya kepada Jamal, panggilan akrab Korkab Nunukan. Sang korkab menyambut baik keinginan Yandri untuk bergabung di JPPR, bahkan sang korkab menawarkan posisi koordinator kecamatan. Sang korkab sudah hafal betul kapasitas dan kemampuan Yandri, sehingga Jamal yakin Yandri mampu melaksanakan kerja-kerja JPPR. Ditawari posisi tesebut Yandri sangat senang. Singkatnya, Yandri pun secara resmi menjadi Koordinator Kecamatan Nunukan (kecamatan kota). Yandri pun mengikuti training kabupaten yang diselenggarakan oleh korkab.
Setelah training Yandri membuat daftar orang-orang yang akan direkrut menjadi koordinator desa dan relawan sesuai kriteria yang ditetapkan JPPR: bermukim di desa/kelurahan wilayah pemantauan; bersifat sukarela; mampu melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemantau; dan yang paling utama adalah non-partisan. "Saya membuat daftar orang-orang yang saya pandang kompeten untuk mengerjakan tugas pemantauan, baik dari segi latar belakang pendidikan maupun pengalaman kemasyarakatan", kata Yandri. "Pikir saya merekrut relawan itu sangat mudah, apalagi di Kecamatan Nunukan hanya ada empat kelurahan dan satu desa, yang berarti hanya dibutuhkan lima kordes dan masing-masing kelurahan ditambah tiga relawan, jumlahnya 20 orang", lanjut Yandri.
Yandri membuat daftar 4 orang yang diperkirakan bisa menjadi kordes dan relawan di Kelurahan Nunukan Timur. Keempat orang tersebut adalah teman-teman Yandri sendiri, karena Yandri asli warga Nunukan Timur. Yandri pun menghubungi salah satu di antara mereka. Yandri mengutarakan maksud dan tujuannya kemudian mengajaknya bergabung menjadi kordes atau relawan JPPR. Orang tersebut mengaku senang ditawari Yandri, tetapi menanyakan honor yang akan diterima. Yandri menjelaskan jika kordes akan mendapat sejumlah dana untuk keperluan komunikasi, transportasi dan konsumsi serta uang saku. Sedangkan relawan akan diambilkan sebagian dana kordes untuk keperluan konsumsi.
Ternyata hasilnya negatif. Orang tersebut mengaku ditawari menjadi saksi salah satu calon bupati yang jumlahnya dananya lebih besar, yaitu Rp 200 ribu untuk bekerja di TPS. Kemudian Yandri menghubungi teman lainnya. Sang teman ternyata juga menolaknya, karena sudah ditawari menjadi kordes dari salah satu calon bupati. "Mereka punya struktur yang hampir sama dengan JPPR. Ada korcam, kordes dan saksi di TPS", kata Yandri. "Bedanya di TPS. Kalau kita istilahnya relawan, sedang mereka saksi", lanjut Yandri. Honor yang diterima oleh kordesnya calon bupati lebih besar dari pada kordesnya JPPR.
Yandri tidak putus asa, keesokan harinya dirinya menghubungi teman lainnya yang sebelumnya juga masuk daftarnya. Sang teman ternyata juga menolaknya. Alasannya sama, sudah ditawari menjadi saksi salah satu kandidat bupati. Sudah orang ketiga yang dihubungi Yandri dalam waktu dua hari tetapi belum ada hasilnya. Bahkan orang keempat sebagai daftar terakhir ketika dihubungi Yandri, hasilnya negatif juga. Dia menolak karena sama sekali tidak tertarik.
Yandri pun membuat daftar baru orang-orang yang mungkin masih bisa direkrut. Sadar kalau di Nunukan sulit merekrut kordes dan relawan, maka Yandri memasukan 10 nama di daftar barunya untuk satu kelurahan. Satu per satu lalu ia hubungi, ternyata hasilnya nihil juga. Walhasil tak satu pun di antara 14 orang yang sudah dihubungi, bersedia menjadi kordes JPPR, apalagi relawan. Alasannya macam-macam. Alasan terbanyak karena lebih tertarik menjadi saksi dari para calon bupati, “honornya jauh lebih besar”, kata Yandri menirukan mereka.
Yandri hampir putus asa. "Saya sudah meyakinkan dengan berbagai cara untuk kepentingan Kabupaten Nunukan, tetapi hasilnya nihil", keluh Yandri. Orang-orang yang biasanya aktif di bidang kemasyarakatan memilih menjadi tim sukses atau kordes dan saksi para calon bupati. Sementara untuk merekrut orang-orang yang tidak terbiasa aktif di masyarakat, mereka tidak tertarik karena menganggap ini pekerjaan di JPPR yang tidak jelas pendapatannya.
Nunukan merupakan daerah perantauan dan perbatasan dengan negara tetangga, Malaysia. "Penduduk di sini kebanyakan pendatang yang mencari kehidupan, mereka tidak mau menjadi sukarelawan", tutur Yandri. "Saya merekrut satu kordes saja sulitnya minta ampun. Itu baru untuk satu kelurahan Di kelurahan lain saya juga mengalami kesulitan yang sama", keluh Yandri. Yandri mencoba cara lain, yaitu memasang pengumuman di beberapa tempat strategis untuk mencari kordes dan relawan. Dalam waktu satu bulan, tidak satupun dari masyarakat yang tertarik untuk menjadi relawan JPPR. "Mereka kurang peduli terhadap kegiatan pemantauan, karena rata-rata mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing", katanya Yandri.
Waktu pun semakin sempit karena pilkada akan digelar bulan April 2006. Sedangkan Yandri sudah berusaha merekrut pada bulan Februari dan Maret. Tak ada pilihan lain, pikir Yandri. Ia meminta saudara-saudaranya yang tinggal di sekitar rumahnya untuk menjadi koordinator desa. Yandri tidak terpikir lagi untuk merekrut relawan, cukup kordes saja. "Saya meminta tolong kepada saudara-saudara saya, dan mereka mau", kenang Yandri. Wilayah yang dipantau pun menyisakan satu desa, yaitu Desa Binusan. "Desa ini jaraknya kurang lebih 30 km dari rumah saya, dan tidak bisa dilewati dengan kendaraan roda dua. Kalau berjalan kaki bisa sampai dua hari karena lokasinya berbukit-bukit", kata Yandri.
Dengan pertolongan saudara-saudara Yandri, pemantauan akhirnya dapat dilaksanakan di empat kelurahan, dan semuanya dapat berjalan dengan lancar. Yandri merasa lega tetapi benaknya masih menyimpan rasa penasarannya: "tantangannya luar biasa", demikian kata Yandri sambil menghela napas.
Menurut Jamaluddin, Koordinator Kabupaten Nunukan, masalah rumitnya merekrut relawan tidak hanya terjadi di kecamatan kota, tetapi merata di tiga kecamatan yang dipantau JPPR. JPPR di Nunukan memantau tiga kecamatan, dua kecamatan lainnya adalah Kecamatan Sebatik dari Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah dan Kecamatan Sebuku dari LKK NU. "Mereka mengeluhkan hal yang sama, sulit mencari orang untuk menjadi relawan", kata Jamal.
Di samping faktor pilihan masyarakat menjadi saksi dan kekurangpedulian masyarakat kepada pemantau, tingkat pendidikan masyarakat juga menjadi salah satu faktor rumitnya merekrut relawan. "Ini kan daerah perbatasan yang biaya hidupnya lebih tinggi daerah lain, tetapi dari segi pendidikan sangat minim terutama di wilayah kecamatan. Jadi untuk mengajak mereka menjadi sukarelawan perlu waktu yang lama", tutur sang korkab. "Inilah tantangan bagi JPPR, bagaimana agar tugas pemberdayaan menjadi satu paket dengan tugas pemantauan", tambah Jamal.
“Berebut” Relawan
Kesulitan merekrut relawan juga dialami Percik, salah satu organisasi anggota JPPR yang akan memantau Pilkada Walikota Salatiga Jawa Tengah 7 Mei 2006. Untuk merekrut sejumlah relawan di tiga kecamatan pantauan, Percik telah menginformasikan, salahsatunya melalui acara “Diskusi Peran Politik Gereja, Pilkada Langsung, dan Tindak Lanjutnya” yang diadakan pada Maret 2006. Diskusi diikuti oleh para pendeta dan pengurus gereja-gereja yang tersebar di Kota Salatiga. Diskusi dimaksudkan menggugah peran serta gereja/jemaat dalam menghadapi Pilkada di Kota Salatiga.
Sebagai salah satu tindak lanjut diskusi ini, dikirimkanlah oleh beberapa gereja sejumlah nama anggota jemaatnya yang berminat menjadi pemantau JPPR dalam koordinasi Percik. Lima nama diantaranya diperoleh melalui Penatua Md dari Gereja SW. Penatua ialah sebutan bagi seseorang yang menjadi pemuka/pengurus pada sebuah gereja. (Nama Penatua & Gereja disamarkan). Berdasarkan data yang terkumpul, kelima calon relawan tersebut ternyata tinggal berdekatan dengan/tetangga Penatua Md di kampung Margosari.
Kemudian Percik membangun kontak via telepon untuk menyepakati waktu menemui & menjelaskan kerja JPPR kepada lima calon relawan tersebut. Pada suatu sore -yang telah disepakati- saat Percik mendatangi rumah salah seorang calon relawan di kampung Margosari, ternyata kelima calon relawan telah siap menanti. Seorang pria (SK) sedangkan empat lainnya wanita (KT, NS, OM, SS) yang berusia sekitar 20-30 tahun. Sungguh tidak diduga kedatangan Percik disambut demikian hangat dan menurut mereka bahkan sudah berhari-hari diharapkan segera dapat bertemu. “Ah mengapa ya?”, pikir Dwi Prasetyo, PO Percik yang terjun langsung ke lokasi.
Setelah obrolan singkat sekedar perkenalan satu dengan lainnya –ternyata kelimanya bukan jemaat Gereja SW. Percik menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan karena kelima orang tadi telah mendaftarkan diri melalui Penatua Md untuk menjadi relawan JPPR Percik. Namun suasana hangat mendadak berubah ketika Percik sampai pada penjelasan bahwa JPPR hanya menyiapkan kaos seragam pemantau, ID card dan lembaran pemantauan; tanpa dana/uang bagi para relawan. Kelima calon relawan tersebut terlihat agak terkejut kecewa dan terlihat saling memandang satu dengan lainnya.
Merespon kekecewaan yang terlihat di wajah mereka, Percik mencoba menanyakan apakah mereka telah mendapatkan informasi yang berbeda/lain tentang pemantauan dan tentang JPPR Percik dari Penatua Md?
Dengan agak ragu-ragu dan terkesan malu, beberapa di antara mereka mengutarakan bahwa mereka berpikir dengan ikut pemantauan JPPR Percik, mereka akan memperoleh imbalan uang seperti yang mereka dengar ditawarkan bila menjadi relawan panwas Pilkada ataupun ditawarkan oleh tim sukses para kandidat walikota. Bahkan mereka berharap dengan menjadi pemantau JPPR Percik, akan mendapatkan imbalan uang yang lebih besar. Secara jujur diakui oleh mereka bahwa kondisi ekonomi mereka (kesemuanya tidak bekerja, masih tinggal bersama orang tua) telah mendorong munculnya pikiran bahwa ikut JPPR Percik akan lebih menguntungkan daripada menjadi relawan pengawas ataupun anggota “tim sukses” kandidat.
Setelah itu salah seorang memohon waktu pada Percik untuk membicarakannya kembali di antara mereka berlima di luar rumah pertemuan. Tak lama kemudian mereka kembali masuk rumah dan menemui Percik yang sedang menunggu di kursi tamu yang sangat sederhana itu. Setelah saling menunjuk di antara mereka untuk menjadi juru bicara, salah seorang secara terbata-bata menyampaikan hasil pembicaraan di antara mereka yang pada intinya menarik diri dari pendaftaran menjadi relawan JPPR Percik. Demikian pula Percik menyampaikan permohonan maaf apabila kelima calon relawan telah memperoleh informasi yang salah, yang berakhir dengan kekecewaan. Meskipun demikian, Percik tetap meninggalkan pada mereka sejumlah bahan pendidikan pemilih berupa KOBAR/Koran Selembar Visi Misi 4 pasangan calon, dan juga booklet 12 pertanyaan penting sekitar Pilkada Langsung. Semoga bahan-bahan pendidikan pemilih itu dapat dibaca dan syukur-syukur dapat dibagikan kepada warga sekitarnya.
Menurut Dwi Prasetyo, PO Percik, di tengah-tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit, terutama di saat-saat BLT (Bantuan Langsung Tunai) dibagikan oleh pemerintah kepada warga miskin, dengan berebutan dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) disalurkan guna mengurangi beban biaya sekolah, juga saat dihadang money politics para kandidat kepala daerah; merekrut relawan –bahkan lewat lembaga keagamaan sekalipun- kiranya dapat menggambarkan dalam beberapa kasus, kalau boleh dikatakan, JPPR mengalami kekalahan dalam “rebutan (pertarungan) untuk mendapatkan relawan pemantau”. “Ini adalah tantangan bagi JPPR, bagaimana pemberdayaan masyarakat tidak hanya dilakukan menjelang pilkada atau pemilu saja tetapi secara terus-menerus”, kata PO Percik yang akrab dipanggil DP ini.
Melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemilu dan pilkada secara sukarela tidaklah semudah melibatkan aktivis atau pekerja organisasi. “Kita ingin agar masyarakat langsung yang terlibat memantau pilkada, kalau kita rekrut aktivis atau pekerja organisasi sosial, bahkan mahasiswa, mungkin hal biasa. Tapi kita ingin ada wujud pemberdayaan masyarakat, kita libatkan mereka agar partisipasi tidak hanya dimengerti sebatas memilih tetapi juga memantau”, demikian pandangan DP.
Dari Makasar, Jufri (PO LKPMP) mengatakan bahwa kasus rumitnya merekrut relawan tidak merata di semua daerah. Pengalaman LKPMP hanya terjadi di daerah-daerah industri dan perbatasan dengan Malaysia seperti di Nunukan, Malinau, Bontang dan Balikpapan. “Di Sulawesi kami mudah merekrut relawan karena sebelumnya mereka sudah terlibat dalam berbagai aktivitas LKPMP seperti pelatihan-pelatihan dan workshop-workhsop yang kami selenggarakan, di luar program JPPR”, demikian Jufri mengisahkan.
Jufri menambahkan, pemberdayaan masyarakat memang membutuhkan waktu yang lama, tidak serta merta JPPR datang ke desa, berbicara sebentar dengan warga masyarakat lalu mereka langsung sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. “Kita memerlukan sebuah proses panjang, dan inilah tugas dari masing-masing organisasi anggota JPPR. Tugas ini tidak harus berhenti karena program”, kata Jufri.[]
Ditulis oleh MF Nurhuda Y dan dipersiapkan untuk Buku JPPR
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.