Lari Karena Merasa Terancam Berbuah Denda Adat

21 March 2007

Ditulis oleh MF Nurhuda Y, dipersiapkan untuk Buku JPPR

Sumanto, Koordinator JPPR Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat berkeliling dari satu TPS ke TPS lainnya dengan sepeda motor pada hari H pemungutan suara pemilu legislatif 2004. Dia merasa punya tanggung jawab untuk memantau kerja relawannya di setiap TPS, sehingga ia ingin memastikan mereka bekerja di TPS, meskipun tidak mampu menjangkau semua relawan di seluruh kecamatan.

Sumanto sendiri berasal dari Jawa yang ikut orang tuanya transmigasi di Simpang Hilir. Sehari-hari dia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Ibukota Ketapang. Sebagai orang baru di Simpang Hilir, tidak banyak warga masyarakat yang mengenalnya. Dia terlibat di JPPR karena diajak oleh Romawi Martin, Koordinator Kabupaten Ketapang. Keduanya berteman karena sama-sama aktif di Gerakan Pemuda Ansor Ketapang, salah satu organisasi pemuda sayap NU.

Sumanto memakai kaos JPPR dilengkapi dengan topi dan berkalung kartu identitas. Di pedalaman sana warga masyarakat selalu mewaspadai jika ada orang asing yang datang. Ketika dia memantau jalannya pemungutan suara di salah satu TPS, dia merasa diperhatikan oleh orang-orang di sekelilingnya yang diduga adalah warga setempat. Sebagai orang baru, Sumanto pun bersikap hati-hati karena belum banyak mengenal warga di sana. Dia sempat ditegur oleh oleh warga masyarakat dengan beberapa kalimat bernada intimidasi: “kamu ngapain di sini, sana.. sana! Jangan dekat-dekat!”, kata Sumanto menirukan kalimat bernada intimidasi dari salah satu warga.

Dalam laporannya kepada Romawi Martin, Sumanto merasa terancam jika dirinya tidak segera pergi. "Saya takut sekali, saya ingin segera pergi dari situ," tutur Romawi Martin menirukan laporan Sumanto melalui handy talky (HT). “Dugaan saya Sumanto ketakutan karena kata-kata yang keluar dari salah satu warga masyarakat”, jelas Martin. Menurut Martin, saat itu mayoritas warga masyarakat di desa tersebut mendukung salah satu partai politik peserta pemilu. Tampaknya mereka tidak ingin partainya kalah sehingga mencurigai siapapun yang asing bagi mereka, terlebih pemantau pemilu. “Kehadiran pemantau dipandang sebagai pihak yang akan mengganggu jalannya pemungutan suara, sehingga harus diusir”, tutur Martin.

Karena merasa terancam, Sumanto segera pergi dan membawa lari kencang-kencang sepeda motornya. Secara tidak disengaja ia menabrak seekor anak anjing yang sedang melintas di jalan. Anjingnya lantas mati, sementara dia sendiri terjatuh dan mengalami luka-luka ringan. Motor yang ia sewa dari salah seorang warga juga mengalami kerusakan.

Warga yang melihat kecelakaan itu memberikan pertolongan, Sumanto pun bisa berdiri, motornya juga masih bisa digunakan. Beberapa warga berdatangan mengerumuni kejadian ini. Mereka saling pandang dan saling bicara, tampaknya pembicaraan mereka cenderung membuat rasa bersalah bagi Sumanto karena dia dianggap terlalu kencang mengendarai sepeda motornya dan menyebabkan kematian anak anjing. Sumanto mengaku salah, dan meminta maaf kepada warga yang mengerumuninya. Tetapi Sumanto tidak lantas disuruh pergi begitu saja oleh warga karena pemilik anjing, yang rumahnya hanya beberapa meter dari tempat kejadian, tidak bisa menerima kematian salah satu hewan peliharaannya. Pemilik anjing meminta Sumanto dihukum secara adat.

Anjing merupakan salah satu binatang peliharaan yang berharga bagi masyarakat pendalaman di Ketapang, sehingga ada hukum adat yang berlaku secara tidak tertulis untuk melindungi semua binatang peliharaan. Menurut Martin, anjing sama halnya dengan ayam bagi masyarakat pedesaan di Jawa, “sangat berharga”, tuturnya.

Di pedalaman Ketapang, siapapun yang melanggar anjing akan mendapatkan sanksi adat. Maka dibawalah Sumanto ke rumah kepala adat yang jaraknya dua puluhan meter dari tempat kejadian. Setelah mendengarkan kasus ini, kepala adat pun melakukan sidang secara singkat dengan mendengarkan keterangan dari saksi-saksi dan pelaku penyebab kematian anak anjing. Warga pemilik anjing menuntut supaya penabrak anjing harus dihukum dengan membayar denda kepada pemilik anjing sebesar Rp. 250.000,-, dan keputusan pun ditetapkan oleh kepala adat.

Dengan menggunakan HT, Sumanto berkomunikasi dengan Romawi Martin. Sumanto mengeluh karena tidak ada persediaan dana sebesar itu, dana JPPR yang terbatas hanya cukup untuk sewa motor dan beli bensin. Motor yang ia sewa pun harus ditahan jika Sumanto tidak mau membayar denda tersebut. Sejenak Romawi Martin berpikir untuk memberikan jalan keluar yang terbaik kepada salah satu korcamnya. Sebagai korkab, tidak mungkin dia menuju ke sana karena untuk ke sana harus memakan waktu 7 jam perjalanan dengan motor air dari Ketapang. Padahal dia juga harus melakukan kerja pemantauan di tingkat kabupaten.

Akhirnya Romawi Martin meminta sang korcam menyetujui dulu keputusan denda tersebut agar Sumanto bisa dilepaskan. Keesok harinya Romawi Martin mengutus salah satu temannya di kabupaten untuk mengirimkan uang kepada pemilik anak anjing yang mati ketabrak motor Sumanto. Oleh Sumanto, usulan Martin disampaikan kepada kepala adat sembari menunjukkan alamat rumahnya yang tidak terlalu jauh dari desa tempat dia menabrak anak anjing, dan kepala adat menyetujuinya.

Akhirnya dilepaslah Sumanto dalam status pengawasan hingga denda dibayar keesokan harinya. Sumanto pun pergi dengan perasaan yang bercampur: ada rasa takut tetapi harus tetap bekerja karena tugas memantau belum selesai. Dia pun tak berpikir tentang luka-luka di sebagian tubuhnya. Soal motor sewaannya yang mengalami kerusakan juga tidak terpikirkan lagi jalan keluarnya.[]

1 komentar:

Anonymous said...

Wah memang di negeri ini ada-ada saja yah. di dunia politik yang harusnya jadi wilayah rasional, ternyata harus tunduk pada hukum adat. dan itu artinya rasionalitas politik masih akan lama tumbuh di negeri ini.

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.

 
 
 
 
Copyright © MF Nurhuda Y