Seorang dosen di Semarang dan istrinya terjaga dari tidurnya ketika jam dua dini hari terdengar orang mengetuk berkali-kali pintu rumahnya yang berada di suatu komplek perumahan. Dia dan sang istri duduk sebentar dan saling bertanya, siapa malam-malam begini mengetuk pintu, ada keperluan apa mereka? Wajar mereka saling bertanya demikian, karena hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sang dosen mencoba mengintip melalui tirai jendela, dia melihat dua orang laki-laki berdiri di depan pintu, dan sebuah truk besar bak tertutup berada di depan rumahnya. Sang dosen masih belum percaya jika itu tamunya, barangkali orang itu tersesat dan sedang mencari alamat yang dituju.
Agak ragu sang dosen membuka pintu, tetapi sang tamu masih di teras dan berupaya mengetuk pintu lagi. Akhirnya dia membukakan pintu dan menanyakan kepada sang tamu dengan nada penasaran: “ada apa pak?”. Sang tamu justru balik bertanya: “apa benar ini rumah bapak Jamil?”, jawab sang tamu dengan wajah yang kuyu menggambarkan kelelahan. “Oh benar, ini rumah saya”, jawab sang dosen. Kemudian sang tamu menjelaskan kepada sang dosen: “bapak mendapat kiriman barang dari Jakarta, ini alamat pengirimnya”. Setelah dilihat ternyata pengirimnya dari seknas JPPR, dan kedua orang itu rupanya kurir dari sebuah perusahaan jasa pengiriman kilat. Kemudian tuan rumah mempersilakan mengambil barang yang dimaksud, dan kedua kurir pun menurunkan barang satu per satu.
Tuan rumah kembali heran karena barang yang diturunkan tidak sedikit. Dia bertanya lagi kepada kurir: “berapa banyak sih barangnya?”. Kontan sang kurir menjawab: “satu truk pak”. Betapa kaget sang dosen, karena jumlahnya berkarung-karung dan setiap karung ukurannya cukup besar, kira-kira dua kali lipat karung beras satu kwintal. Dia tidak mengira akan mendapat kiriman barang sebanyak itu. Ketika membuka salah satu karung, ternyata isinya kaos JPPR. Tuan rumah agak bingung juga karena pasti akan memenuhi ruang tamunya. Tetapi hanya di ruang tamu barang itu bisa ditaruh karena tidak mungkin akan ditumpuk di kamar tidur anaknya atau ruang keluarga.
Jamil adalah Koordinator JPPR Propinsi Jawa Tengah yang shock karena tiba-tiba mendapat kiriman logistik dari seknas yang jumlahnya sangat banyak di saat kebanyakan orang masih terlelap tidur. “Bayangkan, jam dua malam ada orang mengetuk pintu, pikirku siapa malam-malam begini ketuk pintu”, tutur Jamil. “Dan yang membuat saya semakin pusing itu kan barangnya, masya Allah, banyak banget”, lanjutnya sambil menghela napas. Menurutnya, sebenarnya dia sudah mendapat informasi per telepon dari seknas jika logistik relawan JPPR di beberapa kabupaten di Jawa Tengah mengalami kekurangan, maka untuk melengkapinya akan dikirimkan lagi melalui koordinator propinsi. “Saat menerima telepon dari seknas, saya mengiyakan, dan saya kasih alamat rumah saya. Saya tidak tahu jika barangnya sebanyak itu. Pikirku hanya beberapa kardus saja, ternyata satu truk”, papar Jamil yang juga pengurus Lakpesdam NU Jawa Tengah ini.
Fenomena seperti di atas terjadi beberapa hari menjelang pemilu legislatif 2004. Logistik yang berisi kaos, topi dan buku panduan akan digunakan relawan JPPR untuk melakukan tugas pemantauan di TPS. Kaos dan topi merupakan identitas resmi relawan JPPR, sedang buku panduan berisi pengetahuan tentang pemilu dan pemantauan. Sebenarnya pengiriman logistik telah dikirimkan langsung kepada koordinator kabupaten sehingga tidak perlu dikirim ke alamat koordinator propinsi. Pengiriman logistik ke alamat koordinator propinsi dilakukan karena terjadi kekurangan logistik di kabupaten.
Mengirimkan kekurangan logistik ke korprop dipandang sebagai pilihan yang paling efektif karena waktunya sudah dekat dengan pemilu. Sedangkan untuk pengiriman langsung ke kabupaten, banyak kasus memerlukan waktu panjang mengingat letak geografisnya terlalu jauh untuk dijangkau oleh perusahaan pengiriman kilat khusus. Dengan cara seperti ini korkab dapat mengambil langsung ke alamat korprop di ibukota propinsi dalam waktu yang relatif singkat. Untuk di luar Jawa pengiriman tambahan logistik dikirim berdasarkan region terdekat mengingat tidak semua kabupaten lokasinya dekat dengan ibukota propinsi.
Cerita Jamil tidak berhenti sampai di situ, karena setelah dia menghitung jumlahnya, ternyata jumlah topinya dua karung lebih besar dari jumlah kaos. Jumlah ini terlihat lebih jelas ketika JPPR dari beberapa kabupaten berdatangan untuk mengambil kaos dan topi keesokan harinya, karena ada dua karung topi yang tersisa. Ketika Jamil meminta klarifikasi kelebihan topi ke seknas, ternyata ada kesalahan kirim dari seknas. Sebenarnya itu topi untuk wilayah Kalimantan. Terperangahlah Jamil, karena menurutnya pengelolaan logistik seperti ini sangat tidak profesional. "Apa di seknas tidak diatur dulu, mana yang untuk Jawa Tengah dan mana yang untuk Kalimantan, baru kemudian dikirim", ujar Jamil.
Untuk mengembalikan kelebihan topi tersebut ke seknas tidak memungkinkan lagi karena pemungutan suara sudah dekat, sementara korprop harus disibukkan dengan pekerjaan lain yang tidak kalah pentingnya yaitu melakukan pemantauan pemilu di tingkat propinsi serta mengkoordinasi kerja pemantauan di tingkat kabupaten. Hal yang juga membuatnya semakin sibuk adalah korkab dan korcam berdatangan dari beberapa kabupaten ke rumahnya untuk mengambil kekurangan logistik. "Kita hitung berapa kekurangannya, lalu kita pilah-pilah apa saja yang kurang baru kemudian kita minta ambil yang dibutuhkan. Saya sudah tidak sempat lagi memikirkan pengembalian logistik ke Jakarta, kalau (seknas) mau ambil sendiri ke sini", ujar Jamil. Sesekali memang beberapa anggota sekretariat propinsi membantu memilah-milah kekurangan logistik dari beberapa kabupaten tetapi tidak setiap hari mereka datang.
Ada yang lebih menyedihkan, beberapa korcam dan korkab tidak banyak tahu tentang jalan-jalan di Kota Semarang karena jarang mereka pergi ke Semarang. "Saya memandu mereka melalui telepon untuk tiba ke rumah saya, pulangnya saya antar mereka hingga ke pangkalan bus yang menuju kabupaten mereka, satu selesai datang lagi yang lain", demikian tutur Jamil. Ada juga yang menanyakan masalah transportasi pengambilan logistik ke Semarang. "Saya bilang saya tidak tahu menahu soal transportasi, saya hanya dikasih barang dari Jakarta yang akan diambil sendiri oleh korkab", lanjut Jamil. Jamil kemudian menelpon ke seknas untuk mengklarifikasi ada tidaknya anggaran transportasi bagi korkab untuk mengambil kekurangan logistik di Semarang. Menurut jawaban dari seknas, tidak disediakan dana transportasi karena asumsinya mereka sudah mendapat honor bulanan dari program pemantauan, meskipun realitasnya honor bulanan tersebut sangat jauh dari memadai untuk keperluan kerja korkab dan korcam.
Masalah kekurangan logistik tidak hanya terjadi di Jawa Tengah melainkan hampir seluruh kabupaten yang ada JPPR-nya, mulai dari Aceh hingga Papua. Tetapi kalau salah kirim hanya terjadi di Jawa Tengah. Menurut Lukman Budiman Tajo, penanggung jawab distribusi logistik Seknas JPPR periode 2004, keluhan kekurangan logistik JPPR datang dari banyak daerah. Hampir setiap menit telepon seknas berdering untuk menanyakan kekurangan kaos, topi dan buku panduan. Tidak jarang dari mereka mengungkapkan kekecewaannya dengan nada tinggi bahkan marah-marah.
“Kalau salah kirim seingat saya hanya terjadi di Jawa Tengah, dan itu sudah kita evaluasi”, papar Lukman Budiman Tajo yang pada periode 2006 menjadi Manajer Pemantauan Seknas JPPR. “Kalau soal kekurangan memang terjadi di banyak daerah”, lanjut Lukman. Jumlah logistik yang diterbitkan sebenarnya sudah melebihi dari jumlah keseluruhan relawan JPPR ditambah dengan jumlah keseluruhan koordinatornya, baik propinsi, kabupaten maupun kecamatan. Tetapi realitasnya banyak yang kurang. Setelah ditelusuri ada beberapa faktor yang menyebabkan kekurangan logistik: pertama soal mapping. Jumlah relawan masing-masing kabupaten dari hasil mapping di tingkat nasional yang diikuti oleh seluruh organisasi tidak sama dengan jumlah relawan di lapangan.
Seknas menggunakan acuan hasil mapping nasional, sementara beberapa organisasi melakukan perubahan jumlah relawan sesuai dengan jumlah TPS di lapangan sehingga terjadi pembengkakan. “Mereka tidak menginformasikan perubahan itu ke seknas. Kalau pun kami diberi tahu, waktunya sangat mendadak di saat barang sudah siap dikirim. Tenaga kami sedikit sehingga tidak ada waktu lagi untuk bongkar barang yang sudah di-packing dan siap kirim”, lanjut Lukman.
Faktor yang kedua karena serentaknya waktu pengiriman ke banyak kabupaten dalam jumlah yang sangat besar. “Di setiap karung sudah tertulis ‘isi 250 buah kaos’, sehingga kami tinggal mengambil tiga karung jika pengiriman ke suatu kabupaten membutuhkan 750 kaos”, jelas Lukman. “Begitu logistik tiba di kabupaten, mereka hitung, dan jumlahnya tidak semuanya 250 per karung. Ada yang berkurang 10 kaos hingga 20 kaos, dan itu merata di banyak kabupaten”, lanjut Lukman. Seknas meminta klarifikasi kepada pihak perusahaan yang menerbitkan kaos, tetapi pihak perusahaan mengatakan kalau jumlahnya sudah sesuai pesanan, yaitu jumlah per karung 250 buah. “Seknas sudah tidak ada waktu lagi untuk menghitung satu per satu isi setiap karung”, kata Lukman.
Mengatasi masalah di atas seknas membuat dua opsi, cetak kaos lagi atau meminta pengembalian logistik dari beberapa propinsi yang mengaku kelebihan logistik. Beberapa kabupaten memang mengeluh kekurangan logistik, tetapi beberapa kabupaten yang lain juga mengaku kelebihan jumlahnya. Seknas mencoba mencari informasi ke kabupaten yang kelebihan logistik dan meminta dikirim kembali ke seknas. Korprop Banten pun mengembalikan kelebihan logistik ke seknas, tetapi jumlahnya tidak signifikan guna menambah kekurangan di banyak kabupaten. Sementara untuk meminta pengembalian logistik dari propinsi lain jaraknya cukup jauh. Jika dihitung biayanya, selisihnya tidak jauh dengan mencetak kaos lagi. Akhirnya dicetaklah kaos sesuai dengan total kekurangan, ditambah dengan beberapa untuk persediaan jika suatu ketika masih ada yang komplain kekurangan.
Pengalaman di atas menjadi pembelajaran tersendiri bagi JPPR sekaligus tantangan ke depan, bagaimana agar JPPR selalu meningkatkan koordinasi secara horisontal maupun vertikal yang ditunjang dengan profesionalitas pengelolaan jaringan. Kesalahan-kesalahan yang muncul dalam kasus distribusi logistik adalah akibat lemahnya koordinasi, sphere waktu yang sempit dan database yang kurang lengkap. Dengan demikian hanya dengan saling mengisi dari berbagai pihak yang terlibat, masalah-masalah dapat dieliminir.[]
Ditulis oleh MF Nurhuda Y, dipersiapkan untuk Buku JPPR
Agak ragu sang dosen membuka pintu, tetapi sang tamu masih di teras dan berupaya mengetuk pintu lagi. Akhirnya dia membukakan pintu dan menanyakan kepada sang tamu dengan nada penasaran: “ada apa pak?”. Sang tamu justru balik bertanya: “apa benar ini rumah bapak Jamil?”, jawab sang tamu dengan wajah yang kuyu menggambarkan kelelahan. “Oh benar, ini rumah saya”, jawab sang dosen. Kemudian sang tamu menjelaskan kepada sang dosen: “bapak mendapat kiriman barang dari Jakarta, ini alamat pengirimnya”. Setelah dilihat ternyata pengirimnya dari seknas JPPR, dan kedua orang itu rupanya kurir dari sebuah perusahaan jasa pengiriman kilat. Kemudian tuan rumah mempersilakan mengambil barang yang dimaksud, dan kedua kurir pun menurunkan barang satu per satu.
Tuan rumah kembali heran karena barang yang diturunkan tidak sedikit. Dia bertanya lagi kepada kurir: “berapa banyak sih barangnya?”. Kontan sang kurir menjawab: “satu truk pak”. Betapa kaget sang dosen, karena jumlahnya berkarung-karung dan setiap karung ukurannya cukup besar, kira-kira dua kali lipat karung beras satu kwintal. Dia tidak mengira akan mendapat kiriman barang sebanyak itu. Ketika membuka salah satu karung, ternyata isinya kaos JPPR. Tuan rumah agak bingung juga karena pasti akan memenuhi ruang tamunya. Tetapi hanya di ruang tamu barang itu bisa ditaruh karena tidak mungkin akan ditumpuk di kamar tidur anaknya atau ruang keluarga.
Jamil adalah Koordinator JPPR Propinsi Jawa Tengah yang shock karena tiba-tiba mendapat kiriman logistik dari seknas yang jumlahnya sangat banyak di saat kebanyakan orang masih terlelap tidur. “Bayangkan, jam dua malam ada orang mengetuk pintu, pikirku siapa malam-malam begini ketuk pintu”, tutur Jamil. “Dan yang membuat saya semakin pusing itu kan barangnya, masya Allah, banyak banget”, lanjutnya sambil menghela napas. Menurutnya, sebenarnya dia sudah mendapat informasi per telepon dari seknas jika logistik relawan JPPR di beberapa kabupaten di Jawa Tengah mengalami kekurangan, maka untuk melengkapinya akan dikirimkan lagi melalui koordinator propinsi. “Saat menerima telepon dari seknas, saya mengiyakan, dan saya kasih alamat rumah saya. Saya tidak tahu jika barangnya sebanyak itu. Pikirku hanya beberapa kardus saja, ternyata satu truk”, papar Jamil yang juga pengurus Lakpesdam NU Jawa Tengah ini.
Fenomena seperti di atas terjadi beberapa hari menjelang pemilu legislatif 2004. Logistik yang berisi kaos, topi dan buku panduan akan digunakan relawan JPPR untuk melakukan tugas pemantauan di TPS. Kaos dan topi merupakan identitas resmi relawan JPPR, sedang buku panduan berisi pengetahuan tentang pemilu dan pemantauan. Sebenarnya pengiriman logistik telah dikirimkan langsung kepada koordinator kabupaten sehingga tidak perlu dikirim ke alamat koordinator propinsi. Pengiriman logistik ke alamat koordinator propinsi dilakukan karena terjadi kekurangan logistik di kabupaten.
Mengirimkan kekurangan logistik ke korprop dipandang sebagai pilihan yang paling efektif karena waktunya sudah dekat dengan pemilu. Sedangkan untuk pengiriman langsung ke kabupaten, banyak kasus memerlukan waktu panjang mengingat letak geografisnya terlalu jauh untuk dijangkau oleh perusahaan pengiriman kilat khusus. Dengan cara seperti ini korkab dapat mengambil langsung ke alamat korprop di ibukota propinsi dalam waktu yang relatif singkat. Untuk di luar Jawa pengiriman tambahan logistik dikirim berdasarkan region terdekat mengingat tidak semua kabupaten lokasinya dekat dengan ibukota propinsi.
Cerita Jamil tidak berhenti sampai di situ, karena setelah dia menghitung jumlahnya, ternyata jumlah topinya dua karung lebih besar dari jumlah kaos. Jumlah ini terlihat lebih jelas ketika JPPR dari beberapa kabupaten berdatangan untuk mengambil kaos dan topi keesokan harinya, karena ada dua karung topi yang tersisa. Ketika Jamil meminta klarifikasi kelebihan topi ke seknas, ternyata ada kesalahan kirim dari seknas. Sebenarnya itu topi untuk wilayah Kalimantan. Terperangahlah Jamil, karena menurutnya pengelolaan logistik seperti ini sangat tidak profesional. "Apa di seknas tidak diatur dulu, mana yang untuk Jawa Tengah dan mana yang untuk Kalimantan, baru kemudian dikirim", ujar Jamil.
Untuk mengembalikan kelebihan topi tersebut ke seknas tidak memungkinkan lagi karena pemungutan suara sudah dekat, sementara korprop harus disibukkan dengan pekerjaan lain yang tidak kalah pentingnya yaitu melakukan pemantauan pemilu di tingkat propinsi serta mengkoordinasi kerja pemantauan di tingkat kabupaten. Hal yang juga membuatnya semakin sibuk adalah korkab dan korcam berdatangan dari beberapa kabupaten ke rumahnya untuk mengambil kekurangan logistik. "Kita hitung berapa kekurangannya, lalu kita pilah-pilah apa saja yang kurang baru kemudian kita minta ambil yang dibutuhkan. Saya sudah tidak sempat lagi memikirkan pengembalian logistik ke Jakarta, kalau (seknas) mau ambil sendiri ke sini", ujar Jamil. Sesekali memang beberapa anggota sekretariat propinsi membantu memilah-milah kekurangan logistik dari beberapa kabupaten tetapi tidak setiap hari mereka datang.
Ada yang lebih menyedihkan, beberapa korcam dan korkab tidak banyak tahu tentang jalan-jalan di Kota Semarang karena jarang mereka pergi ke Semarang. "Saya memandu mereka melalui telepon untuk tiba ke rumah saya, pulangnya saya antar mereka hingga ke pangkalan bus yang menuju kabupaten mereka, satu selesai datang lagi yang lain", demikian tutur Jamil. Ada juga yang menanyakan masalah transportasi pengambilan logistik ke Semarang. "Saya bilang saya tidak tahu menahu soal transportasi, saya hanya dikasih barang dari Jakarta yang akan diambil sendiri oleh korkab", lanjut Jamil. Jamil kemudian menelpon ke seknas untuk mengklarifikasi ada tidaknya anggaran transportasi bagi korkab untuk mengambil kekurangan logistik di Semarang. Menurut jawaban dari seknas, tidak disediakan dana transportasi karena asumsinya mereka sudah mendapat honor bulanan dari program pemantauan, meskipun realitasnya honor bulanan tersebut sangat jauh dari memadai untuk keperluan kerja korkab dan korcam.
Masalah kekurangan logistik tidak hanya terjadi di Jawa Tengah melainkan hampir seluruh kabupaten yang ada JPPR-nya, mulai dari Aceh hingga Papua. Tetapi kalau salah kirim hanya terjadi di Jawa Tengah. Menurut Lukman Budiman Tajo, penanggung jawab distribusi logistik Seknas JPPR periode 2004, keluhan kekurangan logistik JPPR datang dari banyak daerah. Hampir setiap menit telepon seknas berdering untuk menanyakan kekurangan kaos, topi dan buku panduan. Tidak jarang dari mereka mengungkapkan kekecewaannya dengan nada tinggi bahkan marah-marah.
“Kalau salah kirim seingat saya hanya terjadi di Jawa Tengah, dan itu sudah kita evaluasi”, papar Lukman Budiman Tajo yang pada periode 2006 menjadi Manajer Pemantauan Seknas JPPR. “Kalau soal kekurangan memang terjadi di banyak daerah”, lanjut Lukman. Jumlah logistik yang diterbitkan sebenarnya sudah melebihi dari jumlah keseluruhan relawan JPPR ditambah dengan jumlah keseluruhan koordinatornya, baik propinsi, kabupaten maupun kecamatan. Tetapi realitasnya banyak yang kurang. Setelah ditelusuri ada beberapa faktor yang menyebabkan kekurangan logistik: pertama soal mapping. Jumlah relawan masing-masing kabupaten dari hasil mapping di tingkat nasional yang diikuti oleh seluruh organisasi tidak sama dengan jumlah relawan di lapangan.
Seknas menggunakan acuan hasil mapping nasional, sementara beberapa organisasi melakukan perubahan jumlah relawan sesuai dengan jumlah TPS di lapangan sehingga terjadi pembengkakan. “Mereka tidak menginformasikan perubahan itu ke seknas. Kalau pun kami diberi tahu, waktunya sangat mendadak di saat barang sudah siap dikirim. Tenaga kami sedikit sehingga tidak ada waktu lagi untuk bongkar barang yang sudah di-packing dan siap kirim”, lanjut Lukman.
Faktor yang kedua karena serentaknya waktu pengiriman ke banyak kabupaten dalam jumlah yang sangat besar. “Di setiap karung sudah tertulis ‘isi 250 buah kaos’, sehingga kami tinggal mengambil tiga karung jika pengiriman ke suatu kabupaten membutuhkan 750 kaos”, jelas Lukman. “Begitu logistik tiba di kabupaten, mereka hitung, dan jumlahnya tidak semuanya 250 per karung. Ada yang berkurang 10 kaos hingga 20 kaos, dan itu merata di banyak kabupaten”, lanjut Lukman. Seknas meminta klarifikasi kepada pihak perusahaan yang menerbitkan kaos, tetapi pihak perusahaan mengatakan kalau jumlahnya sudah sesuai pesanan, yaitu jumlah per karung 250 buah. “Seknas sudah tidak ada waktu lagi untuk menghitung satu per satu isi setiap karung”, kata Lukman.
Mengatasi masalah di atas seknas membuat dua opsi, cetak kaos lagi atau meminta pengembalian logistik dari beberapa propinsi yang mengaku kelebihan logistik. Beberapa kabupaten memang mengeluh kekurangan logistik, tetapi beberapa kabupaten yang lain juga mengaku kelebihan jumlahnya. Seknas mencoba mencari informasi ke kabupaten yang kelebihan logistik dan meminta dikirim kembali ke seknas. Korprop Banten pun mengembalikan kelebihan logistik ke seknas, tetapi jumlahnya tidak signifikan guna menambah kekurangan di banyak kabupaten. Sementara untuk meminta pengembalian logistik dari propinsi lain jaraknya cukup jauh. Jika dihitung biayanya, selisihnya tidak jauh dengan mencetak kaos lagi. Akhirnya dicetaklah kaos sesuai dengan total kekurangan, ditambah dengan beberapa untuk persediaan jika suatu ketika masih ada yang komplain kekurangan.
Pengalaman di atas menjadi pembelajaran tersendiri bagi JPPR sekaligus tantangan ke depan, bagaimana agar JPPR selalu meningkatkan koordinasi secara horisontal maupun vertikal yang ditunjang dengan profesionalitas pengelolaan jaringan. Kesalahan-kesalahan yang muncul dalam kasus distribusi logistik adalah akibat lemahnya koordinasi, sphere waktu yang sempit dan database yang kurang lengkap. Dengan demikian hanya dengan saling mengisi dari berbagai pihak yang terlibat, masalah-masalah dapat dieliminir.[]
Ditulis oleh MF Nurhuda Y, dipersiapkan untuk Buku JPPR
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.