Ditulis oleh Erna Kasypiah, dipersiapkan untuk Buku JPPR
Cuaca cukup cerah, pada hari itu, Senin 1 Maret 2004 pukul 08.00 wita beberapa orang anggota Pos Informasi terlihat sibuk menyiapkan beberapa perlengkapan alat bantu sosialisasi pelaksanaan Pemilu Legeslatif yang baru pertama kali akan dilaksanakan secara langsung dan serentak di seluruh Indonesia. Di ruang tamu sebuah rumah yang berukuran 7 x 4 m mereka menata dengan apik beberapa gambar partai, caleg dan kandidat DPD, sesekali terdengar tawa dan celoteh dari beberapa anggota yang perempuan, persiapan ini mereka lakukan karena sebentar lagi Pos Informasi pemilu akan mereka buka.
Pos Informasi ini terletak di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan, kecamatan ini memiliki luas 338 km2 dengan jarak 42 km dari Ibukota Kabupaten dan 135 km dari Ibukota Propinsi. Jalan yang bergunung-gunung, hutan lebat di sisi kiri dan kanan jalan serta kadang aspalnya yang berlubang-lubang, membuat perjalanan menuju tempat ini terasa jauh. Daerah ini termasuk dalam jejeran pegunungan Meratus yang sangat kaya dengan SDA terutama dari hasil hutan, hutan tropis yang ada di sini juga sebagai penyangga sumber air Sungai Amandit, masyarakat adat dengan kepercayaan Kaharingan yang dikenal dengan “Masyarakat Dayak Meratus” sebagai mayoritas penduduknya.
Tepat pukul 09.00 wita Pos Informasi dibuka, spanduk sepanjang 7 meter, bertuliskan ”POS INFORMASI” Pemilu Langsung 2004, pada sudut kanan bertuliskan Logo LK3 (Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan) kemudian pada sudut kirinya ada Logo JPPR, terpampang di depan pos. Dari pagi sampai sore, hari pertama ini hanya 2 orang pengunjung yang datang ke Pos .
Pagi hari berikutnya; Pos Informasi terlihat sepi, namun setelah shalat dzuhur terlihat banyak orang yang datang ke Pos Informasi, mereka berasal dari desa-desa yang cukup jauh, ada yang menempuh perjalanan 3–4 jam, bahkan ada yang sampai 7 jam, melewati gunung, sungai dan lembah dengan berjalan kaki, karena di sana bisa dikatakan tidak ada alat transportasi, kalaupun ada sangat sulit ditemui karena memang masyarakat jarang menggunakannya.
Puluhan orang masyarakat ini ternyata datang bukan untuk mengunjungi Pos Informasi tetapi persiapan untuk berbelanja ke pasar tradisional yang terletak tidak jauh dari pos, pasar ini buka satu kali dalam seminggu tepatnya setiap hari Rabu, sehingga masyarakat yang rumahnya jauh di pedalaman datang satu hari sebelum hari pasar dan beristirahat di rumah yang di sewa oleh relawan sebagai Pos Informasi. Mereka berbincang dengan bahasa dan logat yang khas (bahasa Dayak) yang kadang bisa dimengerti dan kadang tidak oleh petugas pos.
Lima hari sudah berlalu, namun Pos Informasi belum menunjukkan geliatnya, pengunjung yang datang hanya 2 – 3 orang saja setiap harinya, padahal Pos Informasi dibuka dari pukul 09.00 – 17.00 wita setiap harinya. Hal ini mengundang banyak tanya di di kepala masing-masing petugas pos, kemudian Kaspul Anwar (koordinator pos) coba mencari informasi di luar, dengan cara duduk santai sambil minum kopi di warung dekat pasar. Ternyata di sana telah tersebar rumor bahwa Pos Informasi itu bagian dari Program Islamisasi, dakwah Islam ini sengaja dilakukan dengan mendompleng isu pemilu agar tidak kentara.
Mendengar rumor tersebut, Kaspul Anwar langsung menemui tokoh masyarakat untuk menggali informasi lebih jauh tentang rumor tersebut dengan menanyakan; Mengapa rumor Islamisasi bisa menyebar? "Mungkin karena para petugas Pos Informasi (7 orang) itu semuanya beragama Islam dan perempuannya memakai Jilbab, selain itu juga di bagian kanan spanduk tertulis LK3 (Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan), sedangkan di sini mayoritas masyarakatnya non muslim (Kepercayaan Kaharingan & Kristen)” jawab tokoh masyarakat. Kemudian Kaspul Anwar menjelaskan bahwa LK3 adalah sebuah lembaga yang konsern terhadap pemberdayaan masyarakat dengan tidak memandang suku/etnis, agama ataupun golongan, LK3 menjunjung nilai-nilai pluralitas selain itu juga LK3 melakukan Kajian Islam Klasik & masa kini, LK3 juga menjadi mitra petani dalam monitoring pelaksanaan proyek pemerintah di desa. Mengenai logo LK3 yang tertulis di spanduk hanya sebagai identitas bahwa yang membuka Pos Informasi ini adalah LK3 yang tergabung dalam JPPR, sedangkan dalam pelayanan tidak ada perbedaan antara yang muslim dengan non muslim, karena demokrasi tidak beragama (keduanya tertawa).
Kemudian Kaspul Anwar menjelaskan lagi mengenai semua petugasnya yang bergama Islam; ini hanya kebetulan saja, mereka terpilih dalam perekrutan kemaren, padahal di tempat lain seperti di daerah Kalteng banyak petugas yang direkrut LK3 dari kalangan non muslim. Mereka semua (petugas Pos Informasi) sebenarnya berasal dari kecamatan Loksado juga, namun karena rumah mereka yang jaraknya cukup jauh sehingga mungkin tidak dikenal oleh warga sekitar. Bagi semua petugas Pos Informasi Perempuan (Thaqiah, Maimunah, Sumarni & Eka) yang memakai jilbab, sebenarnya tidak ada peraturan pos yang mewajibkan mereka berjilbab, ini hanya karena kebiasaan mereka sehari-hari menggunakannya, sebelum menjadi petugas Pos Informasi pun mereka sudah berjilbab. Jadi tidak ada Program Islamisasi, kegiatan ini murni untuk pemberdayaan/pendidikan pemilih. Kemudian sebelum pamit Kaspul Anwar meminta kepada tokoh masyarakat tersebut untuk menyampaikan apa yang sudah mereka bicarakan kepada masyarakat lainnya agar tidak ada lagi prasangka.
Setelah kejadian hari itu, barulah Pos Informasi mulai terlihat segala kegiatannya, masyarakat yang datang setiap harinya bertambah antara 5–9 orang, simulasi pemilu dilakukan sebanyak 7 kali dengan peserta tidak kurang dari 30 orang, dan menghadirkan beberapa calon kandidat untuk berdialog langsung dengan masyarakat.
Dengan adanya pendidikan pemilih yang dilakukan di pos informasi ini masyarakat di sekitar lokasi tersebut menanggapi dengan sangat positif, mereka merasa sangat terbantu dengan berbagai aktifitas dan layanan informasi pemilu yang diberikan oleh relawan. Bahkan tak sebatas masyarakat awam saja, petugas pemilu tingkat kecamatan, kelurahan serta PPS (panitia pemungutan suara) juga merasa terbantu. Mereka seringkali meminta bantuan relawan pos untuk menjelaskan berbagai hal berkaitan dengan pelaksanaan pemilu.
Tak terpikirkan sedikitpun oleh kawan-kawan LK3 sebelumnya, ternyata Logo LK3 yang terpampang di spanduk itu membuat orang salah sangka. Ini sebuah pelajaran berharga bagi LK3.
Selain itu banyak pelajaran lainnya yang bisa diambil dalam pelaksanaan program JPPR, terutama mengenai metode “Berbasis Masyarakat” yang digunakannya, relawan yang diambil adalah warga setempat yang dibekali wawasan politik dan pemilu, dengan harapan mereka akan menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat luas, dengan demikian maka partisipasi politik dan sikap kritis warga setempat bisa tumbuh secara alamiah seiring berkembangnya budaya demokrasi ditengah masyarakat.
”Hal yang menarik dan agak berbeda dengan yang lain adalah JPPR tidak begitu mengutamakan hasil akhir atau banyaknya temuan di lapangan, melainkan proses intensif pendidikan politik secara langsung. Kalau pemahaman politik masyarakat rendah, maka masyarakat mudah dimobilisasi dan diperalat untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu, karena itu maka JPPR beranggapan bahwa pendidikan politik bukan hanya konsumsi para elite dan masyarakat menengah tetapi diperlukan oleh semua lapisan masyarakat. Masyarakat butuh pendidikan politik !” kata Hasanuddin anggota LK3 yang ditunjuk sebagai koordinator Propinsi Kalsel.[]
Cuaca cukup cerah, pada hari itu, Senin 1 Maret 2004 pukul 08.00 wita beberapa orang anggota Pos Informasi terlihat sibuk menyiapkan beberapa perlengkapan alat bantu sosialisasi pelaksanaan Pemilu Legeslatif yang baru pertama kali akan dilaksanakan secara langsung dan serentak di seluruh Indonesia. Di ruang tamu sebuah rumah yang berukuran 7 x 4 m mereka menata dengan apik beberapa gambar partai, caleg dan kandidat DPD, sesekali terdengar tawa dan celoteh dari beberapa anggota yang perempuan, persiapan ini mereka lakukan karena sebentar lagi Pos Informasi pemilu akan mereka buka.
Pos Informasi ini terletak di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan, kecamatan ini memiliki luas 338 km2 dengan jarak 42 km dari Ibukota Kabupaten dan 135 km dari Ibukota Propinsi. Jalan yang bergunung-gunung, hutan lebat di sisi kiri dan kanan jalan serta kadang aspalnya yang berlubang-lubang, membuat perjalanan menuju tempat ini terasa jauh. Daerah ini termasuk dalam jejeran pegunungan Meratus yang sangat kaya dengan SDA terutama dari hasil hutan, hutan tropis yang ada di sini juga sebagai penyangga sumber air Sungai Amandit, masyarakat adat dengan kepercayaan Kaharingan yang dikenal dengan “Masyarakat Dayak Meratus” sebagai mayoritas penduduknya.
Tepat pukul 09.00 wita Pos Informasi dibuka, spanduk sepanjang 7 meter, bertuliskan ”POS INFORMASI” Pemilu Langsung 2004, pada sudut kanan bertuliskan Logo LK3 (Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan) kemudian pada sudut kirinya ada Logo JPPR, terpampang di depan pos. Dari pagi sampai sore, hari pertama ini hanya 2 orang pengunjung yang datang ke Pos .
Pagi hari berikutnya; Pos Informasi terlihat sepi, namun setelah shalat dzuhur terlihat banyak orang yang datang ke Pos Informasi, mereka berasal dari desa-desa yang cukup jauh, ada yang menempuh perjalanan 3–4 jam, bahkan ada yang sampai 7 jam, melewati gunung, sungai dan lembah dengan berjalan kaki, karena di sana bisa dikatakan tidak ada alat transportasi, kalaupun ada sangat sulit ditemui karena memang masyarakat jarang menggunakannya.
Puluhan orang masyarakat ini ternyata datang bukan untuk mengunjungi Pos Informasi tetapi persiapan untuk berbelanja ke pasar tradisional yang terletak tidak jauh dari pos, pasar ini buka satu kali dalam seminggu tepatnya setiap hari Rabu, sehingga masyarakat yang rumahnya jauh di pedalaman datang satu hari sebelum hari pasar dan beristirahat di rumah yang di sewa oleh relawan sebagai Pos Informasi. Mereka berbincang dengan bahasa dan logat yang khas (bahasa Dayak) yang kadang bisa dimengerti dan kadang tidak oleh petugas pos.
Lima hari sudah berlalu, namun Pos Informasi belum menunjukkan geliatnya, pengunjung yang datang hanya 2 – 3 orang saja setiap harinya, padahal Pos Informasi dibuka dari pukul 09.00 – 17.00 wita setiap harinya. Hal ini mengundang banyak tanya di di kepala masing-masing petugas pos, kemudian Kaspul Anwar (koordinator pos) coba mencari informasi di luar, dengan cara duduk santai sambil minum kopi di warung dekat pasar. Ternyata di sana telah tersebar rumor bahwa Pos Informasi itu bagian dari Program Islamisasi, dakwah Islam ini sengaja dilakukan dengan mendompleng isu pemilu agar tidak kentara.
Mendengar rumor tersebut, Kaspul Anwar langsung menemui tokoh masyarakat untuk menggali informasi lebih jauh tentang rumor tersebut dengan menanyakan; Mengapa rumor Islamisasi bisa menyebar? "Mungkin karena para petugas Pos Informasi (7 orang) itu semuanya beragama Islam dan perempuannya memakai Jilbab, selain itu juga di bagian kanan spanduk tertulis LK3 (Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan), sedangkan di sini mayoritas masyarakatnya non muslim (Kepercayaan Kaharingan & Kristen)” jawab tokoh masyarakat. Kemudian Kaspul Anwar menjelaskan bahwa LK3 adalah sebuah lembaga yang konsern terhadap pemberdayaan masyarakat dengan tidak memandang suku/etnis, agama ataupun golongan, LK3 menjunjung nilai-nilai pluralitas selain itu juga LK3 melakukan Kajian Islam Klasik & masa kini, LK3 juga menjadi mitra petani dalam monitoring pelaksanaan proyek pemerintah di desa. Mengenai logo LK3 yang tertulis di spanduk hanya sebagai identitas bahwa yang membuka Pos Informasi ini adalah LK3 yang tergabung dalam JPPR, sedangkan dalam pelayanan tidak ada perbedaan antara yang muslim dengan non muslim, karena demokrasi tidak beragama (keduanya tertawa).
Kemudian Kaspul Anwar menjelaskan lagi mengenai semua petugasnya yang bergama Islam; ini hanya kebetulan saja, mereka terpilih dalam perekrutan kemaren, padahal di tempat lain seperti di daerah Kalteng banyak petugas yang direkrut LK3 dari kalangan non muslim. Mereka semua (petugas Pos Informasi) sebenarnya berasal dari kecamatan Loksado juga, namun karena rumah mereka yang jaraknya cukup jauh sehingga mungkin tidak dikenal oleh warga sekitar. Bagi semua petugas Pos Informasi Perempuan (Thaqiah, Maimunah, Sumarni & Eka) yang memakai jilbab, sebenarnya tidak ada peraturan pos yang mewajibkan mereka berjilbab, ini hanya karena kebiasaan mereka sehari-hari menggunakannya, sebelum menjadi petugas Pos Informasi pun mereka sudah berjilbab. Jadi tidak ada Program Islamisasi, kegiatan ini murni untuk pemberdayaan/pendidikan pemilih. Kemudian sebelum pamit Kaspul Anwar meminta kepada tokoh masyarakat tersebut untuk menyampaikan apa yang sudah mereka bicarakan kepada masyarakat lainnya agar tidak ada lagi prasangka.
Setelah kejadian hari itu, barulah Pos Informasi mulai terlihat segala kegiatannya, masyarakat yang datang setiap harinya bertambah antara 5–9 orang, simulasi pemilu dilakukan sebanyak 7 kali dengan peserta tidak kurang dari 30 orang, dan menghadirkan beberapa calon kandidat untuk berdialog langsung dengan masyarakat.
Dengan adanya pendidikan pemilih yang dilakukan di pos informasi ini masyarakat di sekitar lokasi tersebut menanggapi dengan sangat positif, mereka merasa sangat terbantu dengan berbagai aktifitas dan layanan informasi pemilu yang diberikan oleh relawan. Bahkan tak sebatas masyarakat awam saja, petugas pemilu tingkat kecamatan, kelurahan serta PPS (panitia pemungutan suara) juga merasa terbantu. Mereka seringkali meminta bantuan relawan pos untuk menjelaskan berbagai hal berkaitan dengan pelaksanaan pemilu.
Tak terpikirkan sedikitpun oleh kawan-kawan LK3 sebelumnya, ternyata Logo LK3 yang terpampang di spanduk itu membuat orang salah sangka. Ini sebuah pelajaran berharga bagi LK3.
Selain itu banyak pelajaran lainnya yang bisa diambil dalam pelaksanaan program JPPR, terutama mengenai metode “Berbasis Masyarakat” yang digunakannya, relawan yang diambil adalah warga setempat yang dibekali wawasan politik dan pemilu, dengan harapan mereka akan menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat luas, dengan demikian maka partisipasi politik dan sikap kritis warga setempat bisa tumbuh secara alamiah seiring berkembangnya budaya demokrasi ditengah masyarakat.
”Hal yang menarik dan agak berbeda dengan yang lain adalah JPPR tidak begitu mengutamakan hasil akhir atau banyaknya temuan di lapangan, melainkan proses intensif pendidikan politik secara langsung. Kalau pemahaman politik masyarakat rendah, maka masyarakat mudah dimobilisasi dan diperalat untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu, karena itu maka JPPR beranggapan bahwa pendidikan politik bukan hanya konsumsi para elite dan masyarakat menengah tetapi diperlukan oleh semua lapisan masyarakat. Masyarakat butuh pendidikan politik !” kata Hasanuddin anggota LK3 yang ditunjuk sebagai koordinator Propinsi Kalsel.[]
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.