Menjelang pemilu legislatif 2004 suasana di Pasar Wates di Kecamatan Binong, Subang Jawa Barat tampak ramai seperti biasanya. Para konsumen keluar masuk silih berganti untuk berbelanja berbagai kebutuhannya. Para pedagang pun sibuk melayani para pembeli. Seakan mereka tidak peduli jika kurang dari sepuluh hari lagi akan digelar hajatan besar di negeri ini, yaitu pemilu. Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka ini menyertakan 24 partai politik, dan masyarakat bisa memilih langsung calon legislatif selain memilih partai politik.
Di tengah hiruk pikuk kegiatan pasar, ada sekelompok kecil ibu-ibu yang mengerumuni salah satu ruko (rumah toko) berukuran 4 x 6 meter persegi. Tampak mereka berbincang serius dengan penjaga ruko, sesekali diiringi tawa lebar sambil memegangi lembaran-lembaran poster. Ruko itu adalah pusat layanan informasi pemilu atau dikenal pula dengan sebutan “posko pemilu” yang didirikan oleh Rahima, salah satu LSM anggota JPPR yang concern dengan kajian keislaman dan isu perempuan. Sedang ibu-ibu itu adalah sebagian konsumen yang sedang ke pasar, dan secara kebetulan mampir ke posko karena ingin tahu lebih detil mengenai masalah pemilu.
Menurut Nani, salah satu pengunjung pasar yang mampir ke Posko Rahima, dirinya ke pasar sebenarnya hanya untuk belanja kebutuhan rutin, tetapi ada teman yang kebetulan ketemu di pasar mengajaknya mampir ke posko pemilu. Setelah mendapatkan penjelasan tentang pemilu, ibu dua anak ini merasakan manfaatnya. Lain halnya dengan Hj Umi. Ibu paruh baya ini sengaja mampir ke posko pemilu karena ingin tahu lebih banyak mengenai pemilu. “Saya sebenarnya sudah lama pengin tahu banyak hal tentang pemilu. Kebetulan di pasar ada, alhamdulillah”, kata Hajjah Umi menuturkan. Menurut Bu Umi, demikian biasa dia disapa, di jalan-jalan bukan hanya gambar partai yang terpasang, tapi gambar orang-orang juga. “Apa sekarang memilih orang juga”, demikian lanjut Bu Umi.
Menurut Ade Jaka Suteja, koordinator Rahima untuk wilayah Subang, dirinya merasa surprise posko yang didirikan bersama teman-temannya dikunjungi banyak orang. “Kita membuka layanan pemilu selama 40 hari sebelum pemilu. Kita bikin di sepuluh pasar tradisional di Subang”, kata pemuda 31 tahun yang biasa dipanggil Jaka ini. “Awal-awal didirikan posko, tidak banyak orang yang berkunjung. Mungkin dianggap tidak terlalu penting, tetapi setelah berjalan beberapa hari posko ini ramai dikunjungi orang terutama ibu-ibu. Dalam sehari minimal ada sekitar 20 orang yang berkunjung dalam satu posko”, lanjutnya.
Banyaknya orang yang berkunjung tidak lepas dari strategi yang diterapkan Jaka dan teman-temannya. Mengingat pentingnya pendidikan pemilih melalui layanan langsung kepada masyarakat, Jaka membuat jinggel iklan kerjasama dengan stasiun radio lokal untuk memberitahukan keberadaan Pusat Layanan Informasi Pemilu Rahima. Di iklan tersebut juga mengkampanyekan keterlibatan perempuan dalam politik.
Setiap posko menyediakan materi-materi pendidikan pemilih, mulai poster pemilu, brosur, bulletin hingga buku saku pemilu. Bahan tersebut didapat dari produk JPPR yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi anggota JPPR. “Kami juga membuat jadwal diskusi kecil di posko jika jumlah pengunjungnya minimal lima orang”, kata Jaka. Jaka dan teman-temannya tidak cukup hanya mendirikan posko, karena jangkauanya terbatas dan hanya menunggu kehadiran masyarakat.
Jaka dan teman-temannya juga menerjunkan relawan untuk memberikan penjelasan tentang bagiamana memilih secara kritis. Mereka mengunjungi para buruh tani yang sedang menimbang padi di sawah, ibu-ibu rumah tangga dan masyarakat umum di rumah-rumah serta di tempat-tempat mereka berkumpul. Para relawan datang untuk menjelaskan mekanisme pemilu yang akan datang dan membagikan brosur, buku panduan pemilu dan poster. “Respon masyarakat cukup bagus dengan kedatangan relawan”, ungkap Jaka. Strategi ini dilakukan karena saat itu musim panen, masyarakat sibuk di sawah memanen padi.
Menurut Maman Abdurrahman, PO Rahima untuk program JPPR, banyak kreativitas yang muncul di daerah ketika Rahima menawarkan program layanan informasi pemilu. Rahima membuka Pusat Layanan Pemilu di sepuluh pasar tradisional, yaitu di wilayah Garut, Tasikmalaya, Cianjur, Serang, Pandeglang, Subang, Kuningan, Cilacap, Bondowoso dan Jember. Wilayah ini dipilih karena selama ini Rahima melakukan sosialisasi isu-isu kesetaraan gender dalam persepktif Islam di wilayah tersebut. “Mereka kreatif sekali”, kenang Maman yang turun langsung memantau kerja jaringannya hampir di semua di daerah.
Di Pandeglang Banten misalnya, relawan merekam suara kyai terkenal dan disegani di wilayah itu untuk ceramah dan menyerukan kepada masyarakat agar mendatangi Pusat Layanan Informasi Pemilu. Rekaman tersebut diaktifkan setiap hari di salah satu radio swasta. Di Kuningan Jawa Barat menggunakan pengeras suara sebagai alat bantu para relawan dalam memberikan informasi posko kepada masyarakat di sekitar pasar. “Untuk meningkatkan kunjungan masyarakat ke posko, teman-teman relawan di kuningan juga membuat selebaran yang berisi informasi keberadaan posko kepada para ibu-ibu majelis taklim”, papar Maman. Hasilnya cukup menggembirakan. Ibu-ibu majlis taklim berbondong-bondong mendatangi posko untuk mendapatkan informasi pemilu.
Istilah Posko Diperdebatkan
Istilah posko sempat memancing perdebatan di Rahima. Selama ini istilah posko berkonotasi pada militeristik karena sering dipakai oleh kalangan militer. “Begitulah salah satu argumentasi teman-teman ketika ada usulan menggunakan istilah posko untuk nama kegiatan pendidikan pemilih melalui penyebaran informasi pemilu”, kata Maman Abdurrahman. Padahal yang akan dibangun JPPR adalah sebuah pusat informasi pemilu untuk pendidikan masyarakat agar lebih partisipatif dan bertanggungjawab dengan pilihannya.
Setelah melalui perdebatan yang seru akhirnya diputuskan istilah ”Pusat Layanan Informasi Pemilu 2004”. Istilah ini lebih dekat kepada fungsi dari ide memberikan informasi kepada masyarakat luas secara mudah. Pilihan pasar sebagai pusat layanan informasi pemilu juga bukan tanpa alasan. Menurut Maman, pasar diasumsikan sebagai tempat berkumpulnya orang untuk melakukan transaksi jual beli, yang tentu banyak dikunjungi orang dengan berbagai latar belakang. “Dengan posko di pasar diharapkan masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan informasi pemilu”, kata Maman.
Pemilihan tempat juga sempat didiskusikan dengan hangat oleh lembaga-lembaga yang mempunyai kegiatan sama, yaitu Fatayat NU, Pemuda Muhamadiyah, MADIA dan LK3 Banjarmasin. “Kalau kepentingannya sekedar menjangkau banyak orang, maka tempat ibadah seperti masjid atau gereja adalah tempat yang seringkali dikunjungi banyak orang? Target posko pemilu tidak hanya banyaknya orang yang berkunjung, tetapi harus dijaga dari kesan bahwa posko ini dimiliki oleh golongan tertentu atau agama tertentu”, lanjut Maman.
Konsep awal pusat layanan pemilu yang dibangun Rahima adalah menggunakan tenda yang ditempatkan di pasar-pasar tradisional. Tetapi akhirnya Rahima memilih menyewa bangunan di sekitar pasar. “Pertimbangan yang muncul waktu itu adalah faktor kenyamanan relawan yang memberikan layanan informasi pemilu kepada masyarakat karena waktu itu musim hujan”, kata Maman.
Bukan Hanya Rahima
Selain Rahima, posko pemilu juga dilakukan oleh MADIA, Fatayat NU dan Pemuda Muhammadiyah. Masing-masing memiliki wilayah yang berbeda satu sama lain. Menurut Jeiry Sumampaw, PO MADIA pada pemilu 2004, ide posko sebenarnya bentuk pendidikan pemilih yang sifatnya jemput bola. Selama ini pendidikan pemilih yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu sifatnya elitis, menerbitkan material pendidikan pemilu seperti iklan, poster, brosur dsb tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut jika masyarakat ingin tahu lebih detil pesan iklan tersebut. Posko layanan pemilu membantu menjelaskan semuanya.
Maryam Fithriyati dari Fatayat NU menambahkan, posko memberikan manfaat yang besar, tidak saja bagi relawan tetapi juga kepada masyarakat luas. Aktivis perempuan yang biasa dipanggil Vivin ini mengaku mendapat telepon dari mitranya di beberapa daerah yang mendirikan posko. “Mereka merasa lebih kreatif, cerdas dalam mengajak masyarakat bersikap kritis”, ungkap Vivin. Posko menjadi tantangan bagi relawan untuk memahami lebih dalam tentang mekanisme dan sistem pemilu termasuk kategori pelanggaran dan sikap apa yang harus dilakukan jika ada pelanggaran.
Bagi masyarakat, posko telah meningkatkan kesadaran dan kemandirian dalam menentukan hak pilihnya. Menurut Vivin, memang sulit untuk mengukur seberapa tingginya kesadaran masyarakat setelah berkunjung ke posko. ”Mengukur itu sulit apalagi menilai perubahan sikap, tetapi gejalanya ada. Misalnya mereka bilang begini: ....oo berarti tugas partai seperti itu, tugas DPRD seperti ini... Mereka sebelumnya tidak mengerti terhadap tugas partai dan calon legislatif yang akan mereka pilih”, kata Vivin. Setelah mereka tahu tugas-tugas parpol dan parlemen, kemudian diajak diskusi tentang kepentingan mereka terhadap partai dan parlemen. ”Setelah itu terserah mereka mau pilih partai apa”, lanjut Vivin.
Kelebihan posko mampu membuat masyarakat lebih cerdas dalam memahami detil-detil pemilu. ”Relawan yang kita terjunkan juga bagian dari masyarakat, mereka termotivasi untuk belajar karena mereka kita beri tugas untuk melakukan pendidikan pemilih, sehingga merekrut relawan dan mau belajar untuk mendidik pemilih merupakan bagian dari pemberdayaan”, ungkap Vivin. Dari sini sebenarnya didapatkan pengalaman yang sangat berharga, masyarakat tidak lagi hanya menjadi obyek dalam proses mobilisasi politik, tetapi telah menjadi bagian dari ‘agen’ pendidikan politik yang siap melakukan transformasi informasi dan pengetahuan kepada publik tentang sistem dan proses pemilu presiden dan wakil presiden. Dalam arti kata masyarakat tidak dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan tertentu. Bahkan, masyarakat telah berhasil menunjukkan kekuatan civil society yang sesungguhnya.
Pendirian posko tidak berarti tanpa tantangan. Masih adanya kecurigaan masyarakat terhadap posko yang didirikan JPPR. Posko Rahima di Subang misalnya dikhawatirkan sebagian besar masyarakat akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk kepentingan-kepentingan tertentu. “Mereka tidak mau membubuhkan tanda tangan atas penerimaan material pemilu atau sekedar daftar kehadiran”, kata Maman Abdurrahman. Mereka khawatir data dan tanda tangan yang diberikan akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk kepentingan-kepentingan. “Dengan sikap masyarakat seperti itu relawan Rahima mengalami kesulitan mendata pengunjung pusat layanan pemilu”, keluh Maman.[]
Ditulis oleh MF Nurhuda Y, dipersiapkan untuk Buku JPPR
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.