Cara Siti Fadilah Lawan Flu Burung

16 October 2009

Jakarta - Gatra. Usaha keras tim medis Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur, tidak sia-sia. Lewat perawatan dan pengobatan intensif, selama kurang lebih satu bulan, Sania, 38 tahun, dan putrinya, Dewi Nurmiati, 14 tahun, dinyatakan sembuh dari penyakit flu burung, Kamis dua pekan lalu. Sebelumnya, dua warga Kampung Godang, Kalideres, Jakarta Barat, itu tergolek lemah di ruang perawatan isolasi pasien flu burung.

Ketua tim penanggulangan flu burung Rumah Sakit (RS) Persahabatan, Dokter Mukhtar Ikhsan, mengatakan bahwa mulanya pasien mengeluh sakit dengan gejala batuk-batuk dan gatal di tenggorokan yang disertai demam tinggi. Obat pereda flu yang diminum pada 24 Januari lalu tidak membuat penyakit itu menyingkir. Lalu pasien dibawa ke RS Persahabatan.

Di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah sebagai rumah sakit rujukan bagi penderita flu burung itu, dokter mendiagnosis, pasien diduga terserang virus berkode H5N1 atau sering pula disebut virus avian influenza. Yakni virus yang penularannya melalui unggas.

Untuk memperkuat diagnosis, darah pasien yang sudah dinyatakan suspect flu burung tadi diperiksa. Hasilnya, positif mengandung H5N1. Selanjutnya perawatan dan pengobatan dilakukan. Termasuk memasang ventilator atau alat bantu pernapasan. Berangsur-angsur kondisi pasien membaik. Kini ibu dan anak itu bisa menjalani aktivitas sehari-hari. "Hasil pemeriksaan tes darah di laboratorium selama tiga hari berturut-turut menunjukkan, darah pasien negatif H5N1," ujar Mukhtar.

Boleh dibilang, Sania dan Dewi sungguh beruntung. Mengacu pada data yang dikeluarkan Posko Flu Burung, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan (Ditjen P3L Depkes) pada 3 Februari lalu, di seantero Nusantara tercatat sebanyak 126 pasien yang dinyatakan positif flu burung. Usai dilakukan perawatan dan pengobatan, hanya 13 pasien atau kurang dari 10% yang berhasil sembuh. Selebihnya, 103 pasien atau hampir 90% dari total jumlah pasien meregang nyawa (lihat tabel).

Meski korban virus flu burung terus berjatuhan, ironisnya sampai saat ini belum ada obat mujarab yang sangup merontokkan virus mematikan itu. Memang ada obat Tamiflu atau oseltamivir untuk jenis generiknya. Tapi antivirus itu hanya berfungsi menekan perkembangan virus. Tamiflu akan efektif jika virus belum menyebar terlalu luas ke tubuh pasien. Atau sekurang-kurangnya 40 jam setelah pasien mengalami gejala terkena virus flu burung, seperti demam tinggi dan sesak napas.

Pencarian obat penawar virus flu burung ternyata telah lama menjadi perhatian serius pemerintah, khususnya Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. Sejak awal serangan virus flu burung di Indonesia terdeteksi, hingga merenggut korban jiwa Iwan Siswara pada Juli 2005, Siti Fadilah bertindak cepat. Langkah pertama yang dilakukan adalah mencegah penyebaran virus flu burung pada unggas. Ratusan unggas, seperti ayam, bebek, dan burung, yang diduga terjangkit virus flu burung, dimusnahkan dengan cara dibakar.

Langkah berikutnya, untuk menghadapi ancaman pandemi flu burung, Indonesia membutuhkan cadangan Tamiflu sedikitnya 10% dari jumlah penduduk yang mencapai 220 juta jiwa. Sehingga, kalau dihitung-hitung, pemerintah harus punya stok Tamiflu sebanyak 22 juta tablet.

Pemerintah pun menyiapkan dana sekitar Rp 200 milyar untuk membeli Tamiflu. Namun memenuhi kebutuhan sebanyak itu tidak mudah. Perusahaan farmasi, Roche, selaku produsen yang memegang hak paten Tamiflu, sedang kebanjiran pesanan.

Perusahaan farmasi yang berpusat di Swiss itu tidak hanya menerima pesanan dari Indonesia. Pesanan masuk dari hampir semua negara, tidak terkecuali Amerika Serikat. Negara adidaya yang belum punya kasus flu burung itu justru memborong Tamiflu dalam jumlah besar. Alasannya, buat stockpiling.

Gagal memesan ke Roche, Siti Fadilah tidak kehabisan akal. Ahli jantung dan pembuluh darah ini memerintahkan anak buahnya mencari Tamiflu hingga ke India. Negeri Mahatma Gandhi ini memiliki lisensi dari Roche untuk memproduksi oseltamivir, yakni tipe generiknya Tamiflu. Selain itu, Menter Kesehatan (Menkes) juga memerintahkan Indofarma menjadi pengimpor Tamiflu. Nantinya, perusahaan farmasi pelat merah ini diharapkan dapat segera memproduksi oseltamivir.

Penunjukan BUMN farmasi sebagai produsen obat flu burung itu diakui Indofarma. Menurut Direktur Produksi Indofarma, Yuliarti R. Merati, sejak 2005 Depkes menunjuk Indofarma untuk memproduksi oseltamivir. Namun baru mulai berproduksi berdasarkan pesanan Depkes pada 2006. "Hanya saja, pada 2007 belum ada pesanan lagi," ujarnya.

Penat di benak Siti Fadilah belum mau beranjak. Selain masalah keterbatasan Tamiflu, perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu dihadapkan pada persoalan ketidaktransparan sharing virus. Berdalih ada peraturan GISN (Global Influenza Surveillance Network), Indonesia diwajibkan menyerahkan sampel spesimen virus H5N1 ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sampel itu dikirim ke laboratorium milik WHO CC (WHO-Collaborating Center) di Hong Kong.

Anehnya, meski virus berasal dari Indonesia, sebagai negara pemilik virus, Indonesia tidak pernah diberitahu tentang nasib virus tersebut. Apakah digunakan untuk penelitian pembuatan vaksin atau untuk penelitian pengembangan senjata biologis? Sejak terjadinya serangan flu burung, Indonesia telah mengirim 58 sampel virus. Namun, pada 20 Desember 2006, Siti Fadilah mengeluarkan kebijakan penghentian pengiriman sampel spesimen virus H5N1 ke WHO.

Keganjilan-keganjilan tadi mengusik nurani Siti Fadilah. Melalui buku berjudul Saatnya Dunia Berubah!, Menkes secara gamblang mengungkap suara kepedihan hatinya atas ketidakadlilan negara kaya dan WHO dalam kasus flu burung.

Soal pengiriman virus flu burung, misalnya, ia mendesak diberlakukannya MTA (material transfer agreement) atau kesepakatan pengiriman sampel virus. Isi MTA, antara lain, jika virus akan digunakan untuk keperluan komersial seperti pembuatan vaksin, negara pengirim harus ikut dilibatkan. Jika virus akan digunakan untuk pengembangan senjata biologis, negara pemilik virus punya hak veto untuk menolak.

Usulan Siti Fadilah itu dipicu fakta, virus H5N1 dari Indonesia yang dikirim ke laboratorium WHO CC, Hong Kong, ternyata diboyong ke Los Alamos National Laboratory di New Mexico, Amerika Serikat. Lab ini pernah digunakan untuk mengembangkan senjata biologis, antara lain bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.

Lab yang berada di bawah Kementerian Energi Amerika Serikat itu diduga telah membuat data sequencing DNA virus H5N1 asal Indonesia. Diyakini, Los Alomos juga telah membuat seed virus yang lazim digunakan sebagai bahan baku pembuatan vaksin antivirus.

Buku yang dicetak dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, itu sontak membuat gerah WHO dan Amerika Serikat. Melalui media Australia, The Age, pejabat WHO yang berwenang menangani flu burung, David Heymann, membantah tulisan Siti Fadilah yang dianggap memojokkan WHO itu. "Saya tidak mengerti, mengapa mereka (Los Alamos) akan membuat virus sebagai senjata biologis. (Virus) itu tidak menular dari manusia ke manusia," kata Heymann.

Pemerintahan Bush ikut angkat bicara. Seperti dikutip The Age, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Susan Stahl, membantah tuduhan bahwa Los Alamos menyimpan virus flu burung asal Indonesia. "Laboratorium (Los Alamos) itu tidak memiliki virus flu burung dari Indonesia atau negara lainnya," ujar Stahl.

Siti Fadilah Supari tetap pada pendiriannya. Menurut Siti Fadilah, apa yang ditulis dalam bukunya adalah fakta, bukan rekayasa, apalagi kebohongan. "Yang terjadi, orang yang berbohong malah bisa diterima. Ketika ada orang yang bicara apa adanya, justru dibenci," kata Siti Fadilah kepada Syamsul Hidayat dari Gatra.

Jangan heran, Siti Fadilah melanjutkan, jika akhirnya orang berbohong hanya karena ingin dipuji banyak orang. "Biarlah mereka (WHO dan Amerika) tidak senang terhadap saya. Yang penting saya jujur, ngomong apa adanya," ujar peraih gelar doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Sujud Dwi Pratisto dan Aries Kelana
[Kesehatan, Gatra Nomor 17 Beredar Kamis, 6 Maret 2008]

4 komentar:

raz_florena said...

keberanian menkes kita patut diapresiasi, banyangkan tdk semua pejabat kita mengatakan tidak pada kesombongan dunia barat pd indonesia ini.

bayu pratama said...

apa yg sdh dilakukan ibu menkes kita mrpkn langkah tegas thd kesewenangan negara barat, sdh saatnya bangsa kita bangkit utk melawannya

Aplus buat ibu Menkes Siti Fadilah, meskipun perempuan tapi berani melawan arogansi negara luar.

Anonymous said...

Bagus bu, meski ibu tak menjabat sebagai menteri lagi, maju terus "Berfastabiqul Khairot". InsyaAllah ibu sehat terus dan tetap energetic.

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.

 
 
 
 
Copyright © MF Nurhuda Y