Diupayakan, Pembagian Beban Pembiayaan Obat AIDS

02 December 2009

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah sedang mengupayakan pembagian beban biaya pengadaan obat antiretroviral (ARV) bagi orang dengan HIV/AIDS untuk menjamin kesinambungan ketersediaan obat tersebut. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp. P (K), di Jakarta, Selasa (1/12), menyatakan, saat ini pemerintah sedang mensosialisasikan pembiayaan ’multimix’ dengan membagi beban pembiayaan ARV secara merata antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Pembagian beban pembiayaan, menurut dia, dilakukan melalui subsidi ARV penuh bagi yang tidak mampu, subsidi ARV terbatas bagi yang mampu atau pembiayaan ARV oleh asuransi.

"Kemampuan pemerintah terbatas, ini tidak mungkin bisa ditangani pemerintah saja, karena itu diupayakan pembiayaan ’multimix’," katanya.

Meski demikian, ia menegaskan, hingga saat ini pemerintah tetap berkomitmen memberikan dukungan pembiayaan ARV sesuai kemampuan pendanaan yang ada.

Tahun 2009, kata dia, alokasi dana untuk pengadaan ARV Rp63 miliar di mana Rp43 miliar di antaranya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Rp20 miliar lainnya dari lembaga donor internasional the Global Fund.

Ia mengatakan, hingga 30 September 2009 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang mendapatkan terapi pengobatan ARV sebanyak 13.958 orang dan semuanya ditanggung pemerintah.

Menurut dia, pemerintah tidak hanya menanggung biaya obat ARV lini satu tetapi juga obat lini dua bagi pasien yang sudah resisten terhadap obat ARV lini dua.

Lebih lanjut dia menjelaskan, pemerintah berupaya memperluas cakupan terapi ARV bagi ODHA dengan memperluas temuan kasus HIV. Orang-orang yang telah mengetahui status HIV mereka selanjutnya akan dirujuk ke fasilitas layanan kesehatan untuk pemeriksaan lebih lanjut dan mendapatkan pengobatan ARV jika kondisi klinisnya memenuhi kriteria pengobatan.

Indonesia termasuk salah satu negara di wilayah Asia Pasifik yang menanggung beban cukup berat akibat penularan HIV/AIDS.

Data Departemen Kesehatan menunjukkan, sampai dengan 30 September 2009 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di 300 kabupaten/kota di 32 provinsi sebanyak 18.442 kasus.

Kasus AIDS terbanyak dilaporkan di Jawa Barat kemudian Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Penularan AIDS paling banyak (49,7 persen) melalui hubungan seks heteroseksual, menyusul penggunaan narkoba suntik (40,7 persen) dan seks antar lelaki (3,4 persen).

Sementara proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (49,57%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (29,84%) dan kelompok umur 40-49 tahun (8,71%).

Sumber: KOMPAS

4 komentar:

Unknown said...

Kesehatan masyarakat memang tanggung jawab pemerintah, Tapi jangan sampai pemerintah mengeluarkan anggaran untuk kepentingan rakyat yang melanggar hukum atau mereka yang mencari penyakit. Masih banyak masyarakat yg lebih membutuhkan uluran bantuan kesehatan yang benar-benar sakit.

Ziyad said...

Diatur ajalah, yang penting penyakit ini bisa diminimlisir dan dilokalisir sedemikian rupa, sehingga tidak semakin tumbuh berkembang di masyarakat.

Anonymous said...

prinsip unlink anounimus bagus untuk proteksi si penderita, namun mekanisme pendataan yang tidak terduplikasi kayaknya itu problem bagi data kasus yang disajikan....., tlg bagi pemerhati AIDS, bagaimana mendapatkan data yang valid.....

indra darmanto,skm said...

prinsip unlink anounimus bagus untuk proteksi si penderita, namun mekanisme pendataan yang tidak terduplikasi kayaknya itu problem bagi data kasus yang disajikan....., tlg bagi pemerhati AIDS, bagaimana mendapatkan data yang valid.....

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.

 
 
 
 
Copyright © MF Nurhuda Y