Dipersiapkan oleh Irvan Mawardi dan MF Nurhuda Y untuk Buku JPPR
Suasana di Aceh pasca nota kesepahaman (MOU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki berbeda dengan masa-masa sebelumnya, yang sarat dengan suasana mencekam akibat konflik politik berkepanjangan. Saat ini Aceh mulai tampak bergairah, masyarakat pun serasa memiliki kebebasan. Mereka sudah mulai menatap masa depan dengan menentukan gubernur dan bupati/walikota melalui pemilihan secara langsung. Ada beberapa alasan mengapa pilkada istimewa bagi rakyat Aceh: pertama, Aceh, provinsi yang pertama kali mengentaskan ide tentang Pemilihan Kepala Daerah Langsung akhirnya akan menghadapi pemilihan kepala daerahnya secara serentak di tingkatan pemilihan gubernur/wakil gubernur dan di 18 pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota.
Kedua, Pilkada Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah dinanti-nantikan bukan hanya masyarakat NAD dan Indonesia tetapi juga masyarakat internasional. Hal ini disebabkan karena pilkada ini merupakan yang pertama pasca perdamaian antara Pemerintahan RI dengan GAM yang di dalamnya melibatkan masyarakat internasional. Ketiga, posisi pilkada NAD yang menjadi bagian dari isi MOU Helsinki yang menempatkannya sebagai salah satu faktor kunci terwujudnya perdamaian yang abadi di NAD. Bila pilkada gagal dan tidak mampu menghasilkan pemimpin Aceh yang mendapat dukungan mayoritas, atau kalaupun mampu memilih pemimpin tetapi tidak mampu memberi arti bagi esensi perjanjian damai, maka mau tidak mau akan menjadi preseden buruk bagi citra negeri ini di mata masyarakat internasional, sekaligus menjadi ganjalan paling potensial bagi kelangsungan perdamaian itu sendiri.
Selain itu, tampilnya GAM dalam gelanggang politik praktis setelah sebelumnya berjuang lewat perjuangan bersenjata menjadikan posisi pilkada menjadi strategis. Banyak kalangan menatikan kiprah GAM dalam ranah politik praktis ini. Pilkada akan menjadi taruhan awal proses rekonsiliasi GAM dengan masyarakat sipil dalam sebuah pertarungan “terbuka’, pilkada.
Pasca MOU, GAM juga dituntut mampu berbaur dan menyatu dengan masyarakat sipil lainnya dan harus meninggalkan identitas lamanya sebagai warga sipil yang bersenjata. Kemampuan melebur dengan masyarakat sipil Aceh lainnya akan menjadi modal besar dan potensi perdamaian di Aceh sekaligus untuk membangun demokrasi yang berperadaban. Dalam konteks peleburan itulah, JPPR sebagai salah kekuatan masyarakat sipil berusaha mengajak GAM untuk bersama-sama mensukseskan pilkada dan agenda demokratisasi lainnya, agar proses rekonsiliasi dan perdamaian berjalan secara sehat.
Sebagai salah satu jaringan pendidikan pemilih dan pemantau pilkada, JPPR berupaya membangun sinergi gerakan dengan berbagai elemen yang ada di Aceh. Pada medio bulan Mei 2006, Irvan Mawardi, PO Dikti Muhammadiyah didelegasikan secara khusus oleh Seknas JPPR untuk mendampingi kerja JPPR Aceh. Mereka bersilaturrahim di markas GAM atau biasa orang Aceh menyebutnya saat ini dengan Komisi Peralihan Aceh (KPA). "Jadi kalau di Banda Aceh, Anda mencari KPA maka masyarakat sudah mafhum bahwa yang dimaksud adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM)", kata Irvan.
Juli 2006 JPPR kembali bersilaturrahmi di Kantor KPA di Lamdingin, Banda Aceh. "Siang itu kami akan bertemu langsung dengan Munawar Liza Zain, Deputy atau Juru Bicara resmi GAM (istilah kartu nama beliau: Deputy Spokesman GAM). Karena bapak Munawar masih di luar kantor, kami menunggu kurang lebih 10 menit. Bapak Munawar datang dan langsung mempersilakan kami masuk di ruang khusus untuk diskusi dan para tamu KPA. Bapak Munawar didampingi jajarannya, Bapak Islam dan Tengku Dawan. JPPR sendiri datang bersama Iskandar Muda Hasibuan, salah seorang anggota panwaslu propinsi dari unsur pers", tutur Irvan yang mendampingi JPPR dalam pertemuan tersebut.
Singkatnya, GAM dan JPPR dalam pembicaraan kurang lebih 55 menit itu menyepakati beberapa hal: pertama, pihak GAM dan JPPR sepakat untuk menyatukan langkah dan sikap untuk memulai proses pendidikan politik bagi rakyat Aceh khususnya dalam konteks melakukan monitoring dan advokasi pilkada. Menurut GAM dan JPPR, pilkada NAD harus berlangsung secara partisipatif, akuntabel dan transparan sebagai bagian dari proses pendidikan politik rakyat.
Kedua, pihak GAM mendukung sepenuhnya langkah serta aktivitas yang selama ini dan akan dilakukan oleh JPPR. Bagi GAM, elemen manapun dalam masyarakat sipil yang memiliki visi dan tujuan untuk mencerdaskan rakyat dan melakukan pendidikan secara independen, tanpa embel-embel akan didukung sepenuhnya oleh GAM.
Ketiga, pihak JPPR membuka kerjasama dengan GAM dalam konteks penguatan kapasitas, pengetahuan serta akseptabilitas masyarakat, khususnya jaringan JPPR dan KPA yang ada di NAD. Selain itu, JPPR bersedia memfasilitasi proses sosialisasi sikap politik GAM terkait dengan dinamika politik NAD. JPPR dan GAM menilai sikap politik apapun terkait dengan Pilkada NAD harus diposisikan sebagai proses pendidikan politik untuk rakyat Aceh.
Keempat, untuk merealisaskan kerjasama antara JPPR-GAM dalam proses peningkatan kapasitas rakyat, pihak GAM bersedia terlibat dalam TOT atau pelatihan yang dilaksanakan oleh JPPR, baik yang TOT kabupaten, briefing korcam dan kordes. Keterlibatan GAM dalam hal ini disepakati dalam dua hal, sebagai narasumber dan atau partisipan dalam TOT atau briefing. Munawar mengakui, bahwa anggotanya juga memerlukan informasi dan pengetahuan tentang pendidikan pemilih, makanya sangat strategis melibatkan mereka dalam aktivitas JPPR termasuk dalam program voters education-nya JPPR. Munawar menjamin, akan memberikan rekomendasi resmi bagi person atau anggota KPA yang ada di kabupaten yang akan mengikuti kegiatan JPPR supaya tidak ada oknum lain.
Kelima, dari hasil diskusi terkait dengan UU PA, JPPR dan GAM menilai bahwa materi UU PA No 11 tahun 2006 yang disahkan kemarin masih banyak yang bertentangan dengan MOU Helsinki. Khususnya kebijakan yang menyangkut Aceh yang dibuat Pemerintah RI/DPR-RI hanya dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan (bukan dengan persetujuan) Pemerintah Aceh/DPR Aceh (pasal 8 UU-PA dan butir 1.1.2 huruf b,c dan d MOU Helsinki). Sehingga sampai saat ini, GAM dan beberapa elemen di Aceh masih menolak beberapa substansi UU PA yang bertentangan dengan MOU Helsinki.
Keenam, pada kesempatan itu juga, GAM mengklarifikasi konsep partai lokal (parlok), yang menurut Munawar telah terjadi distorsi antara UU PA dan MOU Helsinki. Menurut Munawar, untuk konteks kepartaian ke depan di NAD, jenis partai ada tiga: pertama, partai yang berbasis nasional seperti saat ini, PAN, PKB, dll. Kedua partai lokal yang berbasis di Aceh tapi mengikuti syarat nasional. Artinya meskipun berbasis di Aceh, parlok itu juga berada di luar Aceh. Ketiga, partai lokal yang berbasis di NAD dan memang hanya untuk NAD. Menurut Munawar, GAM nantinya akan bermetamorfosis dengan model yang ketiga: murni untuk orang Aceh. Saat ini GAM belum membentuk parlok karena masih menunggu peraturan (UU, Qanun dll) yang mengatur partai lokal sebagaimana disebut UU PA. Namun sejak awal, Munawar mengatakan bahwa dalam Pilkada NAD yang akan datang, GAM tidak akan mengajukan calon resmi dari GAM, namun tetap meminta anggota GAM untuk mengikuti pilkada secara demokratis.
Ketika Seknas JPPR berkunjung ke Aceh bulan Juli 2006, belum ada kepastian kapan hari H pemungutan suara pilkada ditetapkan, tetapi geliat persiapannya sudah mulai nampak setelah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 disahkan beberapa waktu sebelumnya. Meskipun ada beberapa pihak yang masih menyimpan kekecewaan dari substansi UUPA tersebut, tetapi persiapan-persiapan menjelang pilkada telah dilakukan oleh beberapa pihak. Hal ini dilihat dari KIPD Banda Aceh yang sudah mulai mempersiapkan pemutakhiran data, bahkan saat JPPR mampir ke KIPD Banda Aceh, proses pemutakhiran data yang dilakukan mereka sudah mencapai 90% hasil kerja. Meskipun nantinya sudah sampai 100%, namun hasil pendataan itu tetap masih berstatus DPS. Akibatnya terjadi pemborosan anggaran sampai di tingkat KIPD, termasuk pos keamanan pilkada.[]
Suasana di Aceh pasca nota kesepahaman (MOU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki berbeda dengan masa-masa sebelumnya, yang sarat dengan suasana mencekam akibat konflik politik berkepanjangan. Saat ini Aceh mulai tampak bergairah, masyarakat pun serasa memiliki kebebasan. Mereka sudah mulai menatap masa depan dengan menentukan gubernur dan bupati/walikota melalui pemilihan secara langsung. Ada beberapa alasan mengapa pilkada istimewa bagi rakyat Aceh: pertama, Aceh, provinsi yang pertama kali mengentaskan ide tentang Pemilihan Kepala Daerah Langsung akhirnya akan menghadapi pemilihan kepala daerahnya secara serentak di tingkatan pemilihan gubernur/wakil gubernur dan di 18 pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota.
Kedua, Pilkada Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah dinanti-nantikan bukan hanya masyarakat NAD dan Indonesia tetapi juga masyarakat internasional. Hal ini disebabkan karena pilkada ini merupakan yang pertama pasca perdamaian antara Pemerintahan RI dengan GAM yang di dalamnya melibatkan masyarakat internasional. Ketiga, posisi pilkada NAD yang menjadi bagian dari isi MOU Helsinki yang menempatkannya sebagai salah satu faktor kunci terwujudnya perdamaian yang abadi di NAD. Bila pilkada gagal dan tidak mampu menghasilkan pemimpin Aceh yang mendapat dukungan mayoritas, atau kalaupun mampu memilih pemimpin tetapi tidak mampu memberi arti bagi esensi perjanjian damai, maka mau tidak mau akan menjadi preseden buruk bagi citra negeri ini di mata masyarakat internasional, sekaligus menjadi ganjalan paling potensial bagi kelangsungan perdamaian itu sendiri.
Selain itu, tampilnya GAM dalam gelanggang politik praktis setelah sebelumnya berjuang lewat perjuangan bersenjata menjadikan posisi pilkada menjadi strategis. Banyak kalangan menatikan kiprah GAM dalam ranah politik praktis ini. Pilkada akan menjadi taruhan awal proses rekonsiliasi GAM dengan masyarakat sipil dalam sebuah pertarungan “terbuka’, pilkada.
Pasca MOU, GAM juga dituntut mampu berbaur dan menyatu dengan masyarakat sipil lainnya dan harus meninggalkan identitas lamanya sebagai warga sipil yang bersenjata. Kemampuan melebur dengan masyarakat sipil Aceh lainnya akan menjadi modal besar dan potensi perdamaian di Aceh sekaligus untuk membangun demokrasi yang berperadaban. Dalam konteks peleburan itulah, JPPR sebagai salah kekuatan masyarakat sipil berusaha mengajak GAM untuk bersama-sama mensukseskan pilkada dan agenda demokratisasi lainnya, agar proses rekonsiliasi dan perdamaian berjalan secara sehat.
Sebagai salah satu jaringan pendidikan pemilih dan pemantau pilkada, JPPR berupaya membangun sinergi gerakan dengan berbagai elemen yang ada di Aceh. Pada medio bulan Mei 2006, Irvan Mawardi, PO Dikti Muhammadiyah didelegasikan secara khusus oleh Seknas JPPR untuk mendampingi kerja JPPR Aceh. Mereka bersilaturrahim di markas GAM atau biasa orang Aceh menyebutnya saat ini dengan Komisi Peralihan Aceh (KPA). "Jadi kalau di Banda Aceh, Anda mencari KPA maka masyarakat sudah mafhum bahwa yang dimaksud adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM)", kata Irvan.
Juli 2006 JPPR kembali bersilaturrahmi di Kantor KPA di Lamdingin, Banda Aceh. "Siang itu kami akan bertemu langsung dengan Munawar Liza Zain, Deputy atau Juru Bicara resmi GAM (istilah kartu nama beliau: Deputy Spokesman GAM). Karena bapak Munawar masih di luar kantor, kami menunggu kurang lebih 10 menit. Bapak Munawar datang dan langsung mempersilakan kami masuk di ruang khusus untuk diskusi dan para tamu KPA. Bapak Munawar didampingi jajarannya, Bapak Islam dan Tengku Dawan. JPPR sendiri datang bersama Iskandar Muda Hasibuan, salah seorang anggota panwaslu propinsi dari unsur pers", tutur Irvan yang mendampingi JPPR dalam pertemuan tersebut.
Singkatnya, GAM dan JPPR dalam pembicaraan kurang lebih 55 menit itu menyepakati beberapa hal: pertama, pihak GAM dan JPPR sepakat untuk menyatukan langkah dan sikap untuk memulai proses pendidikan politik bagi rakyat Aceh khususnya dalam konteks melakukan monitoring dan advokasi pilkada. Menurut GAM dan JPPR, pilkada NAD harus berlangsung secara partisipatif, akuntabel dan transparan sebagai bagian dari proses pendidikan politik rakyat.
Kedua, pihak GAM mendukung sepenuhnya langkah serta aktivitas yang selama ini dan akan dilakukan oleh JPPR. Bagi GAM, elemen manapun dalam masyarakat sipil yang memiliki visi dan tujuan untuk mencerdaskan rakyat dan melakukan pendidikan secara independen, tanpa embel-embel akan didukung sepenuhnya oleh GAM.
Ketiga, pihak JPPR membuka kerjasama dengan GAM dalam konteks penguatan kapasitas, pengetahuan serta akseptabilitas masyarakat, khususnya jaringan JPPR dan KPA yang ada di NAD. Selain itu, JPPR bersedia memfasilitasi proses sosialisasi sikap politik GAM terkait dengan dinamika politik NAD. JPPR dan GAM menilai sikap politik apapun terkait dengan Pilkada NAD harus diposisikan sebagai proses pendidikan politik untuk rakyat Aceh.
Keempat, untuk merealisaskan kerjasama antara JPPR-GAM dalam proses peningkatan kapasitas rakyat, pihak GAM bersedia terlibat dalam TOT atau pelatihan yang dilaksanakan oleh JPPR, baik yang TOT kabupaten, briefing korcam dan kordes. Keterlibatan GAM dalam hal ini disepakati dalam dua hal, sebagai narasumber dan atau partisipan dalam TOT atau briefing. Munawar mengakui, bahwa anggotanya juga memerlukan informasi dan pengetahuan tentang pendidikan pemilih, makanya sangat strategis melibatkan mereka dalam aktivitas JPPR termasuk dalam program voters education-nya JPPR. Munawar menjamin, akan memberikan rekomendasi resmi bagi person atau anggota KPA yang ada di kabupaten yang akan mengikuti kegiatan JPPR supaya tidak ada oknum lain.
Kelima, dari hasil diskusi terkait dengan UU PA, JPPR dan GAM menilai bahwa materi UU PA No 11 tahun 2006 yang disahkan kemarin masih banyak yang bertentangan dengan MOU Helsinki. Khususnya kebijakan yang menyangkut Aceh yang dibuat Pemerintah RI/DPR-RI hanya dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan (bukan dengan persetujuan) Pemerintah Aceh/DPR Aceh (pasal 8 UU-PA dan butir 1.1.2 huruf b,c dan d MOU Helsinki). Sehingga sampai saat ini, GAM dan beberapa elemen di Aceh masih menolak beberapa substansi UU PA yang bertentangan dengan MOU Helsinki.
Keenam, pada kesempatan itu juga, GAM mengklarifikasi konsep partai lokal (parlok), yang menurut Munawar telah terjadi distorsi antara UU PA dan MOU Helsinki. Menurut Munawar, untuk konteks kepartaian ke depan di NAD, jenis partai ada tiga: pertama, partai yang berbasis nasional seperti saat ini, PAN, PKB, dll. Kedua partai lokal yang berbasis di Aceh tapi mengikuti syarat nasional. Artinya meskipun berbasis di Aceh, parlok itu juga berada di luar Aceh. Ketiga, partai lokal yang berbasis di NAD dan memang hanya untuk NAD. Menurut Munawar, GAM nantinya akan bermetamorfosis dengan model yang ketiga: murni untuk orang Aceh. Saat ini GAM belum membentuk parlok karena masih menunggu peraturan (UU, Qanun dll) yang mengatur partai lokal sebagaimana disebut UU PA. Namun sejak awal, Munawar mengatakan bahwa dalam Pilkada NAD yang akan datang, GAM tidak akan mengajukan calon resmi dari GAM, namun tetap meminta anggota GAM untuk mengikuti pilkada secara demokratis.
Ketika Seknas JPPR berkunjung ke Aceh bulan Juli 2006, belum ada kepastian kapan hari H pemungutan suara pilkada ditetapkan, tetapi geliat persiapannya sudah mulai nampak setelah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 disahkan beberapa waktu sebelumnya. Meskipun ada beberapa pihak yang masih menyimpan kekecewaan dari substansi UUPA tersebut, tetapi persiapan-persiapan menjelang pilkada telah dilakukan oleh beberapa pihak. Hal ini dilihat dari KIPD Banda Aceh yang sudah mulai mempersiapkan pemutakhiran data, bahkan saat JPPR mampir ke KIPD Banda Aceh, proses pemutakhiran data yang dilakukan mereka sudah mencapai 90% hasil kerja. Meskipun nantinya sudah sampai 100%, namun hasil pendataan itu tetap masih berstatus DPS. Akibatnya terjadi pemborosan anggaran sampai di tingkat KIPD, termasuk pos keamanan pilkada.[]
2 komentar:
GAm Member. Ibnu haja MY, born kuala aceh, birth : July 30, 1982, id :820706140489.
salam kenal...
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungannya...
Untuk berkomentar, ketik di sini, nanti akan kami moderasi komentar Anda.